Yang Terabaikan dalam Sepiring Nasi Ayam: Harapan dan Kenangan dalam Ingatan
Apa hal mendasar yang membedakan antara harapan dan kenangan? Apakah harapan hanya hidup dalam bayang masa depan, sementara kenangan sudah mati dalam pusara masa lalu? Bukankah keduanya masih tetap hidup di masa sekarang, meskipun hanya dalam ingatan?
Izinkan saya membawamu berfantasi menggoyang lidah. Ya, saya akan membawa kamu menuju kedai makan yang bernama goyang lidah. Sebuah kedai semi permanen yang terletak tak jauh dari jalan utama di selatan Surabaya. Jika sempat, cobalah kunjungi tempat itu, dan pesan salah satu menu paling dicari, nasi ayam. Tapi jika belum sempat, mari ikuti arahan saya. Bayangkan dulu kamu duduk menghadap salah satu meja kayu panjang yang ditutup plastik. Di tengah meja, terdapat botol air mineral yang disusun berjejer memanjang, dan dikelilingi tempat tisu yang bisa jadi tidak ada isinya. Kursi plastik diletakkan tidak terlalu rapat mengelilingi meja. Tolong, jangan berekspektasi tentang fine dining di narasi kali ini. HARAPAN itu terlalu tinggi, kemungkinan saya tidak sanggup untuk MENGENANGNYA.
Ah, lantas apa hubungan antara harapan, kenangan, dan nasi ayam?
Sekiranya sajian nasi ayam ini masih belum berubah, maka kalian akan disajikan dua hidangan. Sajian pertama adalah sepiring nasi goreng putih, dengan rasa yang tidak akan terduga. Jangan berharap (lagi) tentang gurihnya minyak wijen yang berpadu dengan sesendok bumbu putih (kata Ibuk, bumbu putih terdiri dari kemiri, ketumbar, bawang putih, bawang merah, garam, merica, dan minyak), atau potongan udang, suwiran ayam, dan wortel serta kacang polong yang berpadu dalam nasi berminyak ini. Kalian salah sangka. Dalam sepiring nasi yang isinya lumayan ini, hanya ada nasi, dengan potongan daun bawang tidak terlalu tipis, sedikit berminyak. Sudah. Rasanya? Rasanya adalah harapan tentang nasi goreng putih yang begitu gurih, namun kenyataannya tertampar oleh hambarnya nasi. Saya tidak tahu bagaimana juru masak mengolah nasi ini, karena biasanya, masih terasa sedikit rasa manis pada nasi.
Harapan, seperti yang ada pada piring pertama, selalu bermula pada sesuatu yang tinggi, begitu bermakna, membangkitkan selera, menerbangkan asa. Harapan dibangun dari pengalaman-pengalaman yang membangkitkannya. Dari ingatan-ingatan baik yang menghidupkan mimpinya. Lantas, kenyataan membangunkannya dengan cara menghilangkan gurihnya bumbu putih atau alpanya asin garam dan manisnya kecap. Kenyataan memberikan penawaran yang begitu tawar tak bisa ditawar. Harapan, seiring berjalannya waktu akan berakhir pada rasa hambar. Pada sebuah ada yang berdamping dengan tiada. Bahkan, tak jarang kenyataan membenamkan harapan, membawanya tenggelam melewati garis batas, mengubur pengalaman yang pernah menemani, menegasikan segala ingatan yang pernah menghidupi. Atas nama harapan yang harus selalu memiliki asa, dibutuhkan hidangan lain yang penuh pengalaman dan tak pernah lekang dari ingatan, kita sebut saja kenangan.
Sajian kedua ini disajikan pada mangkok yang cekungannya tidak terlalu dalam, lebih dangkal dari mangkok yang biasa digunakan mas-mas penjaga burjo di sepanjang jalan di depan Stasiun Lempuyangan. Isinya lebih mirip capcay, namun tidak semerah capcay. Kuahnya sedikit kental mungkin karena campuran tepung maizena. Dari segi tampilan, sajian ini tidak membangkitkan harapan apapun karena tak ada ingatan tentang ini sebelumnya. Memang ada potongan wortel yang agak besar, daun sawi yang layu namun tetap hijau, batang-batang brokoli yang malu-malu menyatu dengan kuah kental, dan daging ayam yang dipotong tidak terlalu kecil. Tapi, sajian ini seakan ingin berkuasa penuh dengan ingatan kita tentang kumpulan bahan-bahan tadi, lalu menjadi diktator yang dengan kejam menumpas segala hal, dengan alibi agar tak ada tedeng aling-aling antara kita dan nasi ayam ini. Kembali pada hidangan kedua ini, kamu mungkin perlu mencoba satu-persatu mulai dari kuah, lalu sawi dengan batang yang masih menyisa, wortel dan brokoli pada suapan ketiga, lalu potongan ayam (yang sepertinya dada) dengan balutan kuah kental yang begitu gurih. Dalam suapan berikutnya, cobalah untuk mencampurnya dalam satu sendok penuh. Kamu mungkin tidak akan terbang, tapi percayalah, akan ada rasa yang patut dikenang.
Kenangan, konon katanya hanya muncul di waktu yang tepat. Di waktu ketika tawa yang terlepas tanpa ada makna, ketika cerita lama yang selalu dibawa, lalu diam-diam hati ini mengerti, dan ketika semua mimpi tinggi dan segala drama dijadikan canda, dikeluh bersama, menjadi alasan untuk kembali (Kalimat yang familiar, ‘kan?). Kenangan di sini bukan tentang hal yang buruk, semua tentang keindahan, kehangatan, manis yang patut dikenang. Kenangan seperti menepuk bahu ingatan dan memastikan kalau dunia masih baik-baik saja. Ia adalah yang senantiasa menyediakan telinganya untuk beberapa keluh kesah yang harus diteriakkan. Kenangan, barangkali ada untuk hidup bersama harapan.
Seperti sebuah upaya kecil untuk menyendok potongan daging ayam yang berpadu dengan wortel, dan meletakkannya pada sepiring penuh nasi goreng putih. Nasi berminyak itu mungkin akan sedikit lembek, barangkali dia akan meronta karena tawar yang benar-benar tidak bisa ditawar kalah oleh tepung maizena yang kini cair. Namun, upaya kecil inilah yang diperlukan agar harapan tetap hidup, dan kenangan menunaikan tugasnya untuk membangkitkan asa sebuah harapan. Dan, mungkin bukan sebuah hal yang salah ketika kamu menuangkan sebagian besar isi mangkok pada sepiring nasi berminyak. Menyediakan ruang yang cukup agar kenangan bisa menemani harapan. Hidangan tetap hangat, rasa hambar tidak diusik keberadaannya, ia kini hanya perlu berdampingan dengan gurihnya kuah. Daun bawang yang kesepian mungkin akan bergembira ketika berselimut kuah kental bersama potongan wortel dan brokoli. Dan dalam satu suapan sendok yang penuh, percayalah bahwa kenangan memang ada untuk tetap menghidupi harapan.
Narasi tentang harapan dan kenangan ini mungkin hanya seperti buih pada ombak yang menyusuri bibir pantai. Harapan terbesar yang masih ingin kuhidupi ada pada kursi plastik di depan meja atau di sampingku, yang suatu saat bersedia duduk dan menikmati sajian ini. Lalu, menuliskan kenangan baru agar harapan-harapan baru terus bermunculan.
Jadi, kapan?