Teorema Bayesian dan Pendasaran Semu Rasisme

Maling baut jembatan, besi rel kereta api, pengakuan atas tanah milik Gusti Allah, begal, Meksiko, Vrindavan Utara, apalagi? Bukan maksud merasa tersakiti, merasa paling dibenci, atau semacamnya, namun, ungkapan-ungkapan seperti ini barangkali sudah sering kita dengar baik di media sosial atau dari mulut orang-orang langsung. Apakah semua yang mereka katakan benar? Bisa jadi benar, tapi seberapa benar? Untuk menjawab hal ini, mari kita kesampingkan perasaan-perasaan benci, yang mendasari stigma-stigma, yang, tentu saja tingkat subjektivitasnya tinggi. Mari kita bedah, berdasarkan pendekatan matematis. Ben kon kabeh ga kakean cangkem!

Fahrizal
7 min readNov 2, 2023
Photo by Rahadiansyah on Unsplash

Pada abad ke-18 di tanah Britania, David Hume, seorang filsuf yang kini terkenal atas karyanya yang membentuk sistem filsafat hidup mengenai skeptisisme dan naturalisme, pernah berkata,

Saya cenderung mencurigai orang-orang berkulit hitam dan secara umum semua ras manusia lainnya (pada abad ini secara teori terdapat 4 atau 5 ras manusia berbeda) secara alami lebih rendah daripada orang kulit putih. Tidak pernah ada bangsa yang beradab dengan warna kulit lain selain kulit putih, dan tidak ada manusianya yang menonjol baik dalam tindakan maupun spekulasi,

kemudian ia melanjutkan,

di sisi lain, bangsa paling kejam dan barbar dari orang kulit putih, seperti bangsa Jerman dan Tartar, masih memiliki sesuatu yang menonjol dalam diri mereka, dalam keberanian, bentuk pemerintahan, dan hal yang lainnya.

Pada masa itu, orang-orang selain kulit putih dianggap tidak memiliki gagasan, tidak memahami agama, dan hanya dijadikan budak oleh superioritas kulit putih. Gagasan-gagasan yang umum pada saat itu memang menganggap bahwa secara alamiah manusia memiliki keberagamannya masing-masing, namun secara mental, mereka jauh di bawah orang kulit putih. Bahkan, jauh sebelum itu, sebuah teori mengatakan bahwa orang-orang India diklasifikasikan sebagai hewan seperti duyung, salamander, atau makhluk mistis yang tak berjiwa. Teori-teori ini, yang semakin marak di abad 17 hingga abad 18, menjadi dasar atas rasisme yang muncul di zaman modern.

Sementara, di tempat yang sama, sekitar tahun 1700-an, seorang statistikawan bernama Thomas Bayes (orang ini bisa jadi rasis, eh, tapi kalau saya menganggap orang ini rasis tanpa pendasaran, apakah saya rasis?) sedang duduk di meja kerjanya, di pinggiran Kota London (sepertinya) sedang galau, rungkad, memikirkan tentang hal ini,

Hidup gue gini-gini amat yak, dari dulu hidup cuma makan, tidur, jalan, ngatain orang. Gimana caranya gue bisa tau masa depan gue kalo yang gue ingat cuma kerjaan-kerjaan gue sebelumnya?
awokwowkowk, makan tuh quarter-life crisis!

Bang Bayes lalu mencoba mencari bagaimana caranya menghitung kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang, jika (dan hanya jika) yang dia tahu adalah peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan tidak terjadi. Dia lalu menghitung-hitung, dicorat-coret kertas buramnya, ditendang-tendang dinding kayu rumahnya, hingga kesimpulannya adalah: tebak aja ga, sih~ (Ga gitu ya!). Bang Bayes awalnya memang menggunakan tebakan tak berdasar, namun, seiring bertambahnya jumlah percobaan yang dilakukan, ia menambahkan informasi dari percobaannya sebagai tebakan berikutnya. Bingung? Sukur! Saya juga~

Jadi gini, mari kita anggap Bang Bayes tidak terlalu introvert, jadi dia tidak sungkan untuk meminta tolong asistennya untuk membantu melakukan percobaan. Percobaannya adalah abang kita ini meminta asistennya menjatuhkan sebuah bola ke atas meja. Bola ini sudah pasti jatuh di atas permukaan meja, namun Bayes tidak tahu di bagian mana bola ini mendarat. Dengan mata tertutup, Bayes akan menebak di mana bola itu mendarat, dan pasti kemungkinan besar salah, dong. Dia lalu meminta asistennya menjatuhkan bola lagi, dan mengatakan pada Bayes, apakah bola tersebut mendarat di sisi sebelah kanan atau kiri (lalu asistennya menjawab, “di bawah meja, Pak Bayes,” — asisten ngehe!). Kalau bola kedua ini mendarat di sisi kiri, maka pasti bola pertama jatuhnya di bagian kanan bola kedua. Wait, time out, bang, kepala saya mumet!

Photo by Joey Kyber on Unsplash

Bayes lalu mengulang percobaan ini dan meminta asistennya mengatakan di mana bola pertama mendarat. Nah, setelah banyak percobaan, Bayes bisa mempersempit lokasi jatuhnya bola pertama. Setiap informasi dari setiap percobaan akan menjadi batas di mana kemungkinan bola pertama berada. Dan setelah beberapa lama (banyak kejadian, tapi saya malas menarasikannya) tercetuslah Teorema Bayes yang berbentuk seperti ini:

Tau cara bacanya? Bingung? Hahahaha mamam! Jadi, teorema ini mengatakan bahwa peluang suatu kejadian A terjadi karena kejadian B sama dengan kejadian B karena A dikalikan dengan peluang kejadian A, lalu dibagi dengan peluang kejadian B. Artinya, dua kejadian yang saling berhubungan, peluang terjadinya akan selalu terkait dengan kedua kejadian masing-masing. Yak, masih bingung.

Lantas untuk apa menulis panjang lebar tentang ini, bro? Mau sombong lagi? Mau pamer? Biar dibilang pinter? Lagi gabut? Iya lah, apalagi?! Saya mau pamer kalau teorema ini bisa dipakai untuk menjabarkan rasisme yang marak oleh orang-orang ***, yang mana pendasaran mereka sudah lah tidak berperasaan, pendasarannya semu, dan diselimuti penuh oleh sifat post-truth yang tidak mereka sadari. Pertama, mari kita berandai jika Bayes hanya menebak jatuhnya bola dari 3 sampai 4 percobaan terakhir. Secara kalkulasi, dia pasti akan mendapat jawaban yang bias karena penarikan kesimpulannya diambil sebelah mata, tanpa menyeluruh. Hal ini juga yang dipakai, sadar atau tidak sadar, oleh orang-orang rasis dalam mengambil kesimpulan bahwa kami adalah begal, pencuri baut, dan manusia tak taat aturan. Buktinya apa, puh? Ajarin dong puh, sepuh. Yok, gas!

Sentimen-sentimen ini berasal dari Base Rate Fallacy, suatu suku dianggap jelek karena sebagian darinya melakukan hal jelek. Kalau memakai cara bang Bayes, kita bisa memisalkan:

  • P(C|X) adalah probabilitas orang dari suku “X” melakukan kejahatan.
  • P(X|C) adalah probabilitas kasus kejahatan dilakukan orang suku “X”.

Beberapa orang akan menyorot P(X|C), yang kemungkinannya tinggi karena berbagai alasan sistemik, sosial, ekonomi, dan semacamnya. Lalu mereka menerka bahwa P(C|X) juga pasti tinggi, padahal ini bias, karena mereka mengabaikan base rate dari P(X), yakni jumlah suku “X” dan P(C), jumlah kejadian kejahatan. Padahal, kalau kita pakai Teorema Bayes, jadinya akan seperti ini:

Jadi meskipun P(X|C) tinggi, bukan berarti P(C|X) juga tinggi, karena di sini ada “ilusi” yang disebabkan karena faktor P(X) dan P(C) yang diabaikan (Persis seperti orang-orang yang bacot dulu sebelum menganalisa peristiwa-peristiwa yang terjadi). Bagaimana? Bingung? Mulai konslet? Rasain!

Kita pakai perumpamaan saja. Misalkan di sebuah kota pelabuhan yang panas ada 1.000 orang, yang terdiri dari 100 orang suku “X” dan 900 orang dari suku lain, termasuk suku “J” dan “K” (Rasis juga heh!), yaudah termasuk suku “Y” dan “Z”. Di kota ini ada 50 kejahatan yang terjadi, dan 40 di antaranya dilakukan oleh orang dari suku “X”.
Jika Sancho, seorang warga kota bersuku “Y” hanya melihat data kejahatan berdasarkan observasi atau dari “katanya”, Sancho akan menarik kesimpulan P(X|C) = 40/50 = 0.8 atau 80%, Sancho mungkin berpikir, “Wow, 80% kejahatan dilakukan oleh suku ‘X’, anCenE wONg MekSIKoo.”

Padahal, Sancho, yang mungkin belum tahu bang Bayes, melupakan jika:

  • P(X) = 100/1000 = 0,1 atau 10% dari total populasi,
  • P(C) = 50/1000 = 0,005 atau 5% dari populasi yang melakukan kejahatan,
  • P(C|X) = 40/100 = 0.4 atau 40% dari suku “X” yang melakukan kejahatan, bukan 80%.
Photo by Mehmet Talha Onuk on Unsplash

Jadi, walaupun 80% dari kejahatan dilakukan oleh “X” (atau P(X|C)), hanya 40% dari suku “X” yang melakukan kejahatan (atau P(C|X)), bukan 80%. Jauh, kan? Emang. Pada kenyataannya, angka ini bisa jauh lebih kecil lagi karena distribusi suku X yg sangat timpang. Saya tidak akan menjabarkan data BPS, silahkan kalian cari sendiri. Yang bahkan dengan ketimpangan ini, kalian seringkali ketar-ketir dengan kehadiran kami.

Saya tidak akan mengatakan bahwa kami adalah orang-orang bersih yang tidak pernah melakukan kejahatan. Namun, maaf sebelumnya jika ini subjektif, kejadian P(X|C), yakni kejahatan yang dilakukan suku “X” lebih tersorot karena beberapa faktor, seperti:

  • Bias, seperti yang saya bilang sebelumnya. Manusia cenderung lebih perhatian pada sesuatu yang “berbeda”, “unik”, “nyeleneh”, jadi kesalahan yang dilakukan oleh minoritas lebih ter-expose.
  • Media sosial. Di zaman post-truth, di mana fakta aktual kini digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi, media sosial cenderung memperkuat apa yang sudah orang lihat dan percaya. Algoritma recommender system semisal echo-chamber dan bubble filter justru akan memperkuat sentimen ini.
  • Silent Majority, prestasi yang tingkat keviralannya rendah. Di setiap bagian manapun, apapun sukunya, pasti terdapat orang-orang yang tidak melakukan kejahatan, berprestasi di bidang-bidang tertentu, namun tidak menjadi sumber berita yang menarik. Hal inilah yang membuat segala persepsi terhadap suku tertentu menjadi tidak seimbang. Dan barangkali, bisa jadi para silent majority ini terlalu sibuk dengan rasisme yang terjadi dan sudah malas atas stereotipe “you are lower than me”.

Dah ah, capek. Toh kalian juga akan tetap rasis karena kalian merasa superior, manusia-manusia pilihan, merasa paling benar, tak ada dosa, yang paling dinantikan takdir, dan mayoritas di tanah sendiri.

Pertanyaannya, kalimat di atas termasuk bias dalam Teorema Bayes atau tidak? Silahkan kalian jawab sendiri. Mau rasis ya silahkan, engga juga gapapa. Saya nulis gini bukan bermaksud menggurui, pamer, atau sombong, cuma iseng.

Dah lah.

--

--