Sitemap

Tentang Kagum dalam Diam yang Selalu Disembunyikan

9 min readMay 6, 2025

Pernah menonton film “Sabtu Bersama Bapak”? Di film tersebut, diceritakan tentang seorang Bapak yang mengidap penyakit dan meninggal di usia yang belum tua. Dan dia meninggalkan potongan-potongan video yang dia rekam dalam kaset, sebagai petunjuk, motivasi, dan nasehat untuk keluarganya. Rekaman ini akan dimainkan oleh sang Ibu tiap Sabtu, dan ditonton bersama kedua anak laki-lakinya.
Nah, cerita berikut ini mungkin akan menduplikasi latar waktu yang sama dengan film tersebut, tentang seorang bocah yang kegirangan ketika Sabtu tiba, tentang remaja SMA yang begitu bahagia untuk pulang ke rumah di Sabtu sore yang sendu. Tentang kekaguman yang hanya berakhir dalam diam, terkumpul bersama kekaguman dan kerinduan yang lain. Ini adalah kisahku bersama Bapak, Bapak terbaik di seluruh dunia.

Aku suka duduk di depan teras rumah, memandangi burung gelatik yang hinggap di pohon jambu, lalu meloncat kecil dan terbang menuju pohon sawo, terkadang dari utara sekumpulan burung merpati terbang membentuk formasi V, yang oleh pemiliknya dipasang alat agar berbunyi mirip peluit namun tidak terlalu bising. Kalau hari sudah agak siang, dari arah tenggara terdengar suara baling-baling pesawat, sesekali terbang rendah bermanuver hanya beberapa detik, lalu menghilang, mungkin mendarat di landasan udara dekat SMP. Ketika sore datang, sehabis menyiram tanaman, bunga lili, bibit rambutan yang masih tumbuh sebatang, bonsai yang beratnya minta ampun, dan tumbuhan yang aku tidak tahu namanya, bentuknya mirip pandan, Bapak akan menggantikanku duduk depan teras. Pak Muh, guru mengajiku, biasanya akan lewat depan rumah, menyapa Bapak, lalu terus berjalan menuju jalan raya.

Press enter or click to view image in full size
Ronaldo Nazario by Stadium Astro

Pukul 6 sore di hari Minggu akhir bulan Juni 2002, aku sudah selesai sekolah TK dan hendak masuk jenjang sekolah dasar. Hari libur berkepanjangan saat itu diselingi kekecewaan orang tuaku karena kegagalanku masuk sekolah dasar favorit waktu itu. Kata Ibuk, bapak kepala sekolah SD itu mengatakan kalau kuota muridnya sudah penuh, padahal, beliau adalah teman dekat Bapak dan Ibuk, dan mengatakan kalau anak bungsunya ini bisa diterima untuk bersekolah di sana. Panik bukan main, akhirnya Ibuk mencoba mendatangi teman gurunya yang lain, dan mendaftarkanku ke sekolah tempat beliau mengajar. Lokasinya tak jauh dari rumahku, jadi aku masih bisa berjalan kaki tanpa membuat kedua orang tuaku khawatir. Singkat cerita, guru tersebut akhirnya menerimaku dan membuat lega orang tuaku, sebab anaknya tak perlu lagi berdiam diri di rumah. Kembali ke hari Minggu sore, saat itu aku bersama Bapak sudah duduk di depan TV tabung kecil merek Sharp untuk menonton Final Piala Dunia di Jepang. Ronaldo, yang 4 tahun sebelumnya tak bisa tampil di final karena cedera, akhirnya mendapat kesempatannya kembali. Aku tak ingat bagaimana jalannya pertandingan waktu itu, yang jelas, momen itu adalah awal dari segalanya. Awal dari kesenangan menonton sepak bola di layar kaca bersama bapak, awal dari kesenangan terhadap permainan bola bundar ini, juga awal tentang mencintai sebuah klub sepak bola meski seringkali dikecewakan. Baju jersi kuning list hijau, dengan nomor punggung sembilan, adalah primadona semua anak-anak pada waktu, termasuk aku. Jersi ini adalah salah jersi pertama yang Bapak belikan untukku di pasar dekat rumah. Hobi bapak sebenarnya bukan sepakbola, atau menonton sepak bola. Satu-satunya hal tentang sepak bola yang aku ingat dari cerita Bapak adalah salah satu pemain paling hebat yang pernah beliau tonton adalah Paolo Rossi, pemain berkebangsaan Italia yang meraih juara dunia tahun 1982. Hobi Bapak adalah menonton tinju di hari Minggu jam 10 pagi, jam tayang yang sama dengan jam tayang Power Rangers di Indosiar. Aku tak tahu apakah ini adalah kesenangan setiap bapak-bapak di tahun 2000-an awal, sebab berdasarkan survei yang kuramu secara subjektif, anak-anak yang tumbuh di periode tersebut mempunyai ketidaksukaan terhadap siaran tinju yang mengganggu hari Minggu kami.

Saat aku lahir, Bapak masih menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan yang jaraknya 11 km dari pusat kota, namun tak lama kemudian, setelah dijanjikan bahwa akan dipindah ke kecamatan kota, Bapak malah dilempar jauh hingga 170 km menyeberangi lautan. Butuh 12 jam untuk menuju ke sana, itupun kalau tidak ada ombak dan badai yang datang. Selama tujuh tahun, bapak hanya pulang tiap satu hingga dua bulan sekali. Kalau pulang, bapak biasanya datang dengan beragam barang bawaan, seperti radio bekas yang sering dipakai kakakku mendengarkan album “Taman Langit” milik Peterpan, kompor listrik yang hampir tak pernah Ibuk pakai karena daya listrik di rumah kami saat itu hanya 450 VA, dan juga, yang selalu ada, ikan-ikan segar hasil laut nelayan sekitar tempat bapak tinggal. Aku masih ingat ketika Bapak akhirnya pindah ke daratan lagi, meskipun jaraknya masih 26 km dari rumah, aku sudah mau tamat TK. Hari pertama aku masuk SD, bapak mengantarku. Saat aku sudah di dalam kelas, Bapak masih dengan seragam safarinya mengintipku dari jendela belakang kelas. Hari itu, dan hanya hari itu, aku diantar ke sekolah dan ditunggu hingga masuk kelas. Saat TK, awal-awal aku masuk kelas, seingatku aku akan menangis sejadi-jadinya saat aku ditinggal sendirian. Kau tahu, ditinggal sendirian di tempat yang oleh orang yang amat kau sayang sangat menyakitkan, tolong jangan sering-sering melakukan hal ini.

Saat SD, bapak sudah berangkat sebelum jam 6, setelah itu, tak lama kemudian, aku sudah dipaksa berangkat. Berangkat begitu pagi hingga tak jarang aku yang datang lebih dulu daripada tukang kebun yang merangkap juru kunci di sekolahku. Ibuk juga berangkat bersamaan denganku, menuju tempat angkot nge-tem di persimpangan dekat tugu ayam. Bapak akan pulang ketika matahari hampir terbenam, dan aku sudah penuh keringat sehabis mengejar layangan di jalanan sekitar rumah. Setelah itu, Bapak akan menyempatkan sebentar untuk menyiram halaman dan tanaman-tanaman yang beliau koleksi dari hibahan teman-temannya. Kalau malam tiba, bapak akan duduk bersender pada tembok di depan tv di ruang keluarga yang kalau sudah larut malam, akan menjadi tempat parkir sepeda motornya. Rutinitas inilah yang menjadi keseharian bapak, membosankan, monoton, dan tak ada yang menarik, setidaknya bagiku.

Ketika aku sudah mulai beranjak remaja dan masuk SMP favorit di tempatku tinggal, Bapak masih ditempatkan di kantor kecamatan yang lebih dekat daripada sebelumnya, meskipun masih harus menempuh puluhan menit untuk tiba di sana. Suatu malam, ketika besoknya aku harus mengikuti masa orientasi di sekolah untuk siswa-siswa baru, Bapak membawaku ke kantornya, untuk mengambil lanyard merah tipis karena harus kubawa besok pagi. Pada waktu itu tak banyak toko yang menjual lanyard, maka aku menunggu seharian hingga sore ketika Bapak pulang untuk memintanya mengantarku mencari lanyard ini, namun beliau memutuskan untuk mengambilnya di kantor kecamatan. Sungguh, lokasinya mudah diingat, jika keluar dari gang rumahku menuju jalan raya, cukup berjalan lurus saja ke timur hingga belasan kilometer, lalu kau akan berjumpa dengan kantor di kiri jalan. Kali ini, sebab aku sudah besar, aku akhirnya naik sepeda untuk pergi bersekolah, meskipun saat musim hujan dan air mulai turun sejak selepas subuh dan tak ada tanda-tanda untuk berhenti, Bapak akan mengantarku ke sekolah menaiki sepeda motor Honda Win keluaran tahun 1984, edisi pertama. Bapak akan memakai jas hujan yang cukup lebar dan tubuh mungilku akan bersembunyi di balik jas hujan. Motor ini amat lambat, saking lambatnya, ketika motor ini tak lagi dipakai Bapak ketika pensiun, kakak iparku memutuskan membawanya ke rumahnya untuk dibuat membawa hasil ngarit rumput sebagai pakan sapi. Katanya, motor ini tak bisa dibawa ngebut (FYI, kakak iparku hobi balap motor dan ia seringkali memenangi kejuaraan road race di ibukota provinsi), paling mentok katanya hanya sampai 30 km per jam. Sungguh, Bapak, selama bertahun-tahun naik motor ini, tak pernah sekalipun mengeluh, Bapak adalah orang tersabar yang pernah aku kenal.

Ilustration by Fatkomik

Selama SMP, selain karena hujan, biasanya Bapak akan mengantarkanku ke sekolah saat hari Sabtu. Karena libur, dan karena aku sudah mulai malas-malasan saat Sabtu datang, maka bapak akan mengantarku ke sekolah, meskipun saat pulang, aku akan berboncengan sepeda dengan temanku. Saat Sabtu pula biasanya Bapak sering melakukan hobinya yang lain, yakni memancing. Dan tolong, jangan samakan dengan para pemancing zaman sekarang yang suka bermalas-malasan di kolam pemancingan hingga lupa keluarga, ritual memancing Bapakku berbeda. Sabtu pagi biasanya Bapak akan mengantar Ibuk berbelanja ke pasar besar. Sembari menunggu Ibuk mencari bahan-bahan untuk beberapa hari ke depan, Bapak akan membeli udang beberapa ons untuk umpan pancingnya. Saat sudah di rumah, beliau akan mencincang udang-udang itu menjadi potongan yang lebih kecil. Alat pancingnya tak berjoran, tali senarnya Bapak gulung pada tabung pipa yang melengkung ke luar di kedua ujungnya. Dalam kotak peralatannya juga terdapat pemberat, bermacam jenis kail, dan ikan tiruan. Pada malam hari, selepas isya’ bapak akan mempersiapkan segala alat pancing dan umpannya, dan akan berangkat saat lewat tengah malam. Bapak akan berangkat ke pelabuhan, tempat di mana Bapak lahir dan tumbuh besar, dan akan menyewa perahu untuk memancing ke laut. Aku pernah diajak Bapak sekali, namun karena waktu itu tak ada perahu untuk disewa, maka kami menghabiskan semalam suntuk di pinggir pelabuhan. Tapi kalau sendiri, bapak akan menghabiskan waktu hingga matahari terbit untuk memancing ikan, lalu, sekitar pukul 6 Bapak biasanya sudah pulang. Aku tidak begitu hafal ikan yang biasanya Bapak bawa pulang, yang jelas, kalau musim sedang baik-baiknya, ikan bawal, kakap, yang putih dan merah, juga ikan-ikan seukuran telapak tangan yang aku tak tahu namanya akan memenuhi tempat cuci piring di rumah.

Saat pagi menjelang siang, aku dan Bapak akan mengantar sebagian hasil tangkapan ke rumah nenek di perumnas, sementara sisanya akan dimasak oleh Ibuk. Jika tak digoreng, ikan hasil tangkapan akan kami bakar. Menurut resep Ibuk, bumbu bakar oles cukup sederhana, hanya campuran kecap manis, sesendok mentega, dan sedikit minyak goreng yang diaduk hingga tercampur merata. Untuk sambalnya, Ibuk hanya menyiapkan dua jenis sambal. Yang pertama hanyalah campuran kecap manis, irisan cabai rawit, irisan bawang merah, dan bawang goreng. Bahan-bahan ini biasanya aku ulek pada piring dengan sendok, sebab cobek dan ulekan kayu dipakai Ibuk untuk sambal yang kedua, yakni sambal kacang. Kacang tanah yang sudah digoreng sebelumnya, dicampur dengan sedikit air agar mudah digerus, lalu ditambahkan potongan cabai rawit dan kecap manis, mirip bumbu sate sebetulnya. Dan percayalah, tak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan hasil pembakaran di atas arang ikan segar hasil tangkapan, dengan nasi hangat dan sambal kecap yang cukup pedas. Pernah sekali waktu, kerabat Bapak di Masalembu mengirimkan seekor lobster sebesar lengan Bapak, dan oleh Ibuk hanya direbus dengan bumbu-bumbu penyedap (bukan micin!), dan sepanjang sore kami sekeluarga menikmati hidangan laut yang cukup mewah itu (meskipun pada malam hari, kemewahan itu sedikit hilang karena harus memarkir motor di ruang tamu, hahaha).

Aku mulai meninggalkan rumah saat SMA, sehingga hari Sabtuku selalu kuhabiskan di sekolah hingga siang, lalu naik angkot ke arah Timur. Kalau terlalu sore, angkot-angkot ini tidak mau mengantar penumpangnya hingga terminal kecil di kotaku. Aku pernah diturunkan di depan pesantren besar dan harus menunggu bis untuk melanjutkan perjalanan, sementara uang sakuku menipis. Kalau sampai di terminal saat sore hari, aku akan mengabari Bapak untuk memintanya menjemputku, namun terkadang aku memilih berjalan kaki menuju rumah. Berjalan dari terminal kecil di sudut pasar besar, berjalan menyusuri trotoar yang tak sempurna, dan tak akan pernah sempurna. Melewati kompleks toko-toko mainan yang dulu pernah menjadi saksi bisu tangisanku yang tiada henti. Menyeberangi persimpangan yang salah satu sudutnya, terdapat toko dengan penjaga yang kupikir dia berasal dari luar negeri, hanya karena kulitnya yang seputih susu dan toko yang ia beri nama ‘Hawaii’.

Dalam momen aku bersekolah, sepanjang hidupku aku hanya bolos sekolah dua kali (Tolong jangan ikutkan jumlah saat kuliah). Dalam dua kali tingkah “kriminal” ini, semuanya aku lakukan pada hari Sabtu. Dua kali pada acara jalan santai yang diadakan SMA-ku saat perayaan hari jadi. Rencana kabur ini sudah kurencanakan sejak lama, maka ketika pagi hari ibu kos (yang sudah kuanggap orang tuaku juga) menyiapkan sarapan untuk kami, aku satu-satunya orang yang tidak memakai kostum pawai. Kubilang saja aku ingin pulang, cukup ibu kosku yang kumintai izin, teman-temanku tak perlu. Karena kosku cukup dekat dengan sekolah, maka ramai-ramai persiapan pawai bisa kudengar samar-samar, ketika aba-aba mulai sudah dipekikkan, dan ketika siswa-siswa sekolah mulai berjalan keluar gang sekolah, aku menunggu beberapa saat hingga sepi, lalu menuju pinggir jalan untuk menyetop angkot untuk pulang. Bolos yang kedua kulakukan pada momen yang sama, namun saat kelas XII. Yang beda hanyalah, aku mengabari kalau aku bolos pada dua orang, ibu kos dan seseorang, anggap saja namanya Q. Orang terakhir sempat marah dan melarangku untuk bolos, karena hari itu juga bukan hari libur, dan aku tak mendapat dispensasi. Tapi, aku tak mau ikut mencorat-coret wajahku, lalu menari-nari tak jelas di atas panggung. Ogah, kataku (ya meskipun aku sangat ingin melihat wajahnya yang mungil dilukis cat air, sih.) Kubilang saja kalau aku kangen pulang, dan Ibuk sedang masak masakan yang enak, aku tak bohong, sebab setiap waktu masakan Ibuk selalu enak.

Press enter or click to view image in full size
Pic taken by me

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bisa mengamati punggung Bapak yang begitu aman kupeluk erat dari belakang ketika naik motor. Sejak Bapak pensiun belasan tahun yang lalu, sejak bibit pohon rambutan telah mati kekeringan dan kini berganti pohon alpukat yang mulai berbunga, sejak rumah peninggalan kakek kini rata dengan tanah dan mulai dipadati pot-pot tanaman koleksi Bapak, dan sejak tanah lapang di depan rumah kini hilang berganti rumah-rumah tetangga yang sering bertukar kabar dengan Ibuk, aku tak lagi bisa setiap hari bercengkerama dengan Bapak. Dulu ketika aku masih di rumah, kami begitu pendiam, namun kini setiap aku pulang, aku selalu rindu cerita Bapak bersama paguyuban senamnya, cucu-cucunya yang cerdik namun cerewet, atau tentang restoran depan rumah yang tiap sore menjelang maghrib menebar wangi sate.

Bapak, anakmu kangen. Senantiasa dan akan selalu.

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet