Surabaya adalah Cerita Penuh Intrik dan Kita Dipaksa Menikmatinya Sampai Habis

Dari selatan perbatasan yang rancu, menuju utara yang keras. Timur yang penuh kenangan, dan barat yang tertutup tabir keabu-abuan.

Fahrizal
3 min readAug 30, 2023
Photo by Hobi industri on Unsplash

Pada setiap perbatasan memasuki Surabaya, secara implisit kita sudah diperingati bahwa kota ini tak akan ramah bagi siapapun pendatang yang ingin tinggal atau sekadar singgah. Di selatan, kau akan dipaksa menikmati macet yang hampir tiada habisnya di sebuah bundaran depan pusat perbelanjaan, lalu kau akan disuguhkan padang aspal yang begitu panjang serta umpatan yang sesekali mengalahkan riuh deru kendaraan. Jika kau datang dari barat, kau akan langsung diadu dengan truk-truk raksasa yang siap mengisi tenggorokanmu dengan desir angin berdebu. Lalu, jangan paksa aku mendeskripsikan perbatasan kota ini ketika hujan turun. Jalanan yang licin, debu yang mulai basah beranjak menjadi lumpur akan menjadi cerita yang memuakkan untuk memulai kota ini. Oh atau barangkali, begitulah cara Surabaya menyeleksi mereka yang hendak tinggal, menyambut tanpa rasa belas kasih, dan merawat tanpa peduli.

Tulisan ini bukanlah sebuah perlawanan, bukan sebuah kritik, apalagi yang membangun, tulisan ini akan berisi umpatan dan makian (cocok dengan karakter orang-orangnya yang senang sekali beralibi “ah, itu bukan misuh, itu ekspresi saja” -Taek a?-) yang berdasarkan dendam dan kebencian terhadap Surabaya. Tapi tenang, kau mungkin hanya akan menemukan sedikit sekali makian, yang sebelum kalimat ini tidak termasuk, karena kebencianku sudah kubalut dengan kata-kata manis, semanis dan seindah bunga tabebuya yang bermekaran sepanjang Kertajaya, melenakan orang-orang ketika bermacet-macet ria. Bicara mengenai Tabebuya, barangkali alasan mereka memilih bunga ini bukan karena warnanya yang indah dan seakan-akan membawa suasana Jepang ke Surabaya. Mencoba menduplikasi bunga sakura yang bermekaran ketika musim semi. Di kota yang hanya terdapat dua musim, aku skeptis dengan maksud dan tujuan itu, sepertinya bunga tabebuya ini memiliki tendensi untuk menampilkan keindahan Surabaya, hanya satu, dan satu-satunya. Ketika mulai bermekaran, orang-orang akan dipaksa mendongak untuk mengamati keindahan kota ini, lalu sejenak lupa tentang lumpur di kaki mereka. Mulut mereka akan terdiam sejenak, lalu ketika kembali ke realita, umpatan dan makian akan kembali bergema. Memangnya, selain tabebuya, apalagi keindahan yang dimiliki kota ini? Pantai? Maksudmu pantai yang hanya berupa bebatuan tajam itu? Atau museum? Ah bahkan orang-orangmu sendiri enggan ke sana, atau mungkin tak sadar kalau Surabaya punya museum? Jalan Tunjungan? Hahahaha, kecuali kau suka berdesak-desakan dengan orang lain, cone penanda jalan, atau mobil parkir berjejer, silahkan sebut Tunjungan sebagai destinasi wisata, yang sebegitu getolnya ingin menyamai Malioboro.

Kalau katanya, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, yang barangkali Tuhan tersenyum ketika menghadap ke Selatan dan saat pagi hari, bukan ke daerah pusat saat malam ketika gangster merajalela dan manusia-manusianya hobi berkebutan di jalanan. Sementara Surabaya, menurutku diciptakan ketika semuanya hampir selesai, tersisa sepetak tanah di tepi laut, begitu panas, penuh rawa, dan sulit diatur, maka, karena tak ada waktu lagi, diciptakanlah Surabaya yang begitu apa adanya, namun manusianya begitu pandai bersembunyi di balik topeng “sing paling iso berterus terang” -Bacooottt-.

“Kalau memang benci dengan Surabaya, pindah saja, kami tidak butuh orang-orang sepertimu!”, kata mereka. Seandainya bisa, sudah saya lakukan dari dulu, tapi kalau saya pindah, tulisan ini tidak akan pernah ada. Makian-makian tentang kota penuh topeng ini tak akan pernah mengemuka, dan memangnya, rasa benci bukan berarti tembok yang menjadi penghalang ladang oportunis kan? Kalian pikir oportunis adalah sebuah kejelekan, yang seharusnya tidak kita pertontonkan, tai kucing! Bukankah kalian sendiri, manusia-manusia yang begitu pandai melihat peluang sekecil apapun. Kemampuan menemukan gang kecil, manipulasi data, mengakali peraturan, pindah dari hati yang usang ke hati yang menurut kalian lebih indah, kalian pikir itu perilaku cerdik? Ah pantas saja kalian berpikir seperti itu, ketika orang yang menurut kalian terbaik di kota ini, saat beliau mencuci mobil dengan sepatu boot imutnya, masih kalian bela dengan membawa kejayaan masa lalunya. Atau pahlawan yang selalu kalian elu-elukan, pidatonya selalu kalian dengarkan, eh ternyata pernah membuat mati pasukannya. Sekarang aku semakin yakin, tabebuya begitu memabukkan. Dipadu dengan air tanah yang begitu bau belerang, barangkali kalian telah terbuai dalam Surabaya yang utopis. Kalian adalah tokoh utama dalam lakon penuh intrik, bermain dengan keroyokan, dan memaksa kami menikmatinya sampai habis.

Maksud saya Surabaya yang di Saranjana ya teman-teman, jadi ini murni fiksi. Serius.

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet