Perjalanan Perdamaian dengan Kopi

Jurnal Kopi #1 (22–23 Februari 2025)

Fahrizal
5 min readFeb 25, 2025

Satu hingga dua minggu terakhir kupikir adalah hari-hari yang amat berat untuk dijalani. Ada perpisahan, ada pengkhianatan. Ada hal yang pernah teramat kucita-citakan, namun hancur bagai pecahan kaca. Dan dari serangkaian kejadian ini, ada satu hal yang benar-benar membuatku kecewa. Singkatnya, keinginan untuk mengunjungi sebuah kedai kopi bersama batal (untukku) karena seseorang memilih mengunjungi tempat tersebut bersama orang lain. Sebenarnya, berjarak dua hari dari kejadian itu, kopi yang kucoba hanya dominan rasa pahit dan sepat. Hints notes rasa yang dijabarkan oleh barista tak ada yang muncul di indera perasaku. Yang malah muncul adalah, rasa pusing dan mual beberapa jam setelah meminum kopi ini. Ah, ternyata memang ada yang tak beres dengan kepalaku, brengsek memang. Kejadian ini sempat membuatku untuk berhenti sejenak mencoba mencicipi dan menyeduh kopi, sebab ada ingatan buruk yang terus menyertainya. Tapi benar kata Jepik, peristiwa sepele ini tidak akan membuatku trauma pada kopi. Maka, tiga hari terakhir kuhabiskan berpetualang sambil mencoba kopi di beberapa tempat, dan menghasilkan catatan kecil tentang kokopian ini.

Hari Jum’at malam, di sebuah kedai kopi kecil di Bojonegoro. Temanku, Faris, akhirnya membawaku ke tempat ngopi yang sering muncul di story media sosialnya. Tempatnya tak semewah coffee shop yang belakangan memenuhi kota, hanya ada beberapa meja dan kursi di dalam ruangan, dan tak sampai empat meja yang dikelilingi dua atau empat kursi di bagian luar. Biji kopi yang disediakan juga terbatas hanya tiga macam, dari roastery terkenal yang akhir-akhir ini tertimpa masalah perkara desain packagingnya. Aku memesan “The Forbidden Fruit”, bijinya merupakan blend dari varietas Castillo dari Jairo Arcila, Kolombia dengan proses anaerobic honey, dan varietas Caturra dari Kosta Rika dengan proses washed. Aku sebenarnya pernah menyeduh sendiri biji kopi ini, namun rasa yang kudapat pada malam itu berbeda. Ada aroma tipis kombinasi antara jambu dan apel. Rasanya, begitu bersih, ada rasa manis seperti buah peach dan samar-samar rasa asam seperti asam buah stroberi. Hangat, menenangkan. Meskipun sebelumnya aku sudah dibawa Faris menyantap seporsi kari ayam yang cukup pedas, lalu mampir sebentar menyantap bakaran pada angkringan di atas trotoar, hasil seduhan kopi malam itu seakan mengatur ulang indera perasaku yang saat itu masih diselimuti kekecewaan. Kopinya enak, seduhannya pas, dan mas-mas pemilik kedainya ramah, murah senyum. Waktu itu, meskipun singkat, setidaknya aku masih diyakinkan bahwa kopi berkualitas akan tetap enak, persepsi kita saja yang mungkin akan merusaknya.

Ini yang keren. Besoknya, sekitar pukul sepuluh pagi aku bersiap-siap menuju Terminal Purabaya. Setelah kemarin kulalui jalur utara Jawa dengan kereta api, kali ini aku akan menuju dinginnya selatan. Aku seperti membawa separuh diriku yang mulai gila ini (separuh sisanya sudah diobati di Bojonegoro) menuju Rehabilitasi Dinas Sosial milik Ajun. Sepanjang jalan bebas hambatan di dalam bus, isi pikiranku seperti ingin mengeluarkan semua kata-kata kotor. Ah tapi tak kulampiaskan, karena harus jadi “manusia yang beradab”, katamu. Sabtu sore itu, Malang diguyur hujan, maka kuhabiskan sepanjang sore menceritakan semua yang terjadi, termasuk peristiwa bangsat tentang kedai kopi itu pada Ajun, bapak dosen puitis yang kini menetap di Malang. Peristiwa mengejutkan terjadi setelahnya, ketika aku bersama Ajun menerobos rintik hujan menuju daerah Kedaung, ke sebuah kedai kopi yang terletak di ruang tamu milik mas Dimas. Saat kami datang, kami juga disambut oleh Sura, anak mas Dimas. Namanya jugalah yang menjadi nama kedai kopi yang kami datangi malam ini. Aku dibuatkan secangkir kopi filter panas dengan beans yang berasal dari Bromo, dengan proses pasca panen natural anaerob. Teduh, menenangkan. Aku yang kedinginan sepanjang perjalanan, merasakan tegukan kehangatan kopi yang manis tipis gula aren yang pas, rasa asam yang seperti sembunyi-sembunyi dibalik jejak-jejak rasa anggur hijau selepas membasahi lidah. Ajun memesan magic dengan beans yang aku lupa apa (hehe), tapi rasanya seperti kita meminum kue bolu coklat dengan lapisan krim di atasnya. Mind blowing!

Kata mas Dimas, tempat ini sebenarnya adalah showcase, usaha utamanya tetaplah roastery dan menyuplai beans pada kafe-kafe, juga kopi susu. Di rumahnya, suara yang bisa kudengar selain desing mesin kopi saat susu di-steam, adalah Sura yang sibuk bermain mobil-mobilan malam itu. Suasana di luar begitu syahdu, tenang, mas Dimas seperti menyulap suasana malam itu agar kami dapat merasakan kopi buatannya dengan fokus dan tenang. Karena aku tidak ingin melewatkan periode semesta yang sedang baik hati malam itu, aku memesan segelas piccolo dengan beans Ijen CM. Beans hasil proses Ijen Lestari milik mas Dhandy yang tahun lalu mendapat juara pertama kompetisi Cup of Excelence, yang meruntuhkan paradigma bahwa kopi Jawa Timur dominan rasa earthy dan nutty. Dan kamu tahu apa yang terjadi? Rasa piccolo dengan beans Ijen ini, seperti makan brownies, rasa coklat tapi tipis sekali, namun dominan asam selai blueberry. Otakku seperti berhenti sejenak, aku terdiam. Ini adalah kopi paling enak yang pernah kurasakan. Semua aspek serasa klop di mulut dan tubuhku. Aku juga mendapat secangkir espresso dari beans Ijen, bonus kata mas Dimas. Aku tak mendapati rasa pahit dari espresso ini, aku pun tak mendapat hints rasa cokelat atau kacang-kacangan, namun asam yang membuat kaget, dan tentu saja kaget dalam arti mengenakkan. Tak ada henti-hentinya aku dan Ajun bersyukur atas kopi seduhan mas Dimas, bahkan hingga esok pagi saat kami mengunjungi Coban Putri. Mas Dimas, terbaik!

Dua perjalanan di atas pada akhirnya membuatku sadar bahwa kopi tak pernah salah. Ketika ia ditanam dengan perawatan terbaik, diproses dengan metode yang paling cocok, disangrai dengan cara yang detail dan hati-hati, lalu diseduh oleh tangan-tangan terampil, ia akan tetap menunjukkan kebaikannya, kualitasnya. Cara-cara yang salah, proses-proses yang tak elok, bakal mengurangi atau bahkan menghilangkan kualitas dari biji kopi tersebut, namun kembali lagi, bukan karena kopinya, namun karena manusianya.

Terima kasih kepada Jepik, Faris, dan Ajun yang sudah mendengarkan keluh kesah manusia bodoh ini. Kopigraphy (tautan untuk akun instagramnya di sini) yang sudah menyeduhkan kopi dengan rasa yang pas, dan mas Dimas (Sura Coffee Roastery bisa kalian kunjungi di tautan ini) atas seduhan yang membuatku bersyukur atas kehadiran kopi di dunia ini. Untukmu, berbahagialah.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet

Write a response