Membantah Romantisme Puisi “Aku Ingin” dalam Perspektif Sains

Fahrizal
5 min readAug 8, 2024

--

Photo by Todd Diemer on Unsplash

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Barangkali kalian sering mendengar puisi dengan judul “Aku Ingin” karya Bapak Sapardi Djoko Damono ini. Dari potongan gambar status Whatsapp, gombalan-gombalan remaja, atau menjadi musikalisasi, puisi ini mungkin adalah jajaran puisi paling terkenal di Indonesia. Namun, kali ini saya tidak akan mengulas ataupun mengkritisi puisi ini dalam ranah sastrawi dan estetika bahasa, sebab bukan ranah saya juga. Yang akan saya lakukan kali ini adalah membedah tiap-tiap baitnya dalam persepsi sains, untuk apa? Untuk pamer lah, apalagi?!

Jadi, mari kita mulai~

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Photo by Niklas Tidbury on Unsplash

Kalian pasti tahu apa yang terjadi ketika kayu dibakar api. Yak, kayunya terbakar (ya masa basah?). Ada panas yang dari api yang mengubah kayu menjadi abu, kata Pak Sapardi. Namun, apakah kayu itu lantas tiba-tiba menjadi abu dalam waktu yang sangat singkat? Dan karena begitu singkatnya, kayu tak sempat mengucapkan kata kepada api. Memangnya prosesnya sesingkat itu? Tentu tidak!

Kayu, menjadi terbakar ketika bertemu dengan api sebab terjadi reaksi kimia (mas, UN kimiamu nilainya empat koma, ga usah sok ngomong kimia deh) karena ada perubahan wujud dari padat menjadi karbon dioksida, arang, abu, dan uap air, dan juga pelepasan energi dalam bentuk panas akibat adanya kalor dan oksigen. Pertama, ketika terbakar, kandungan air yang tersisa di dalam kayu akan menguap menjadi gas dan membuat kayu menjadi lebih kering. Setelah kering, dan suhu pembakaran semakin meningkat, zat yang mengisi serat-serat selulosa kayu, namanya hemiselulosa (apa sih!) mulai terbakar dan terurai menjadi karbon dioksida dan karbon monoksida lalu melayang di udara, melayang bagaikan terbang ke awan, kuterawang dalam ruang, bayang-bayang kelam (eaaa, you sing you lose). Pembakaran ini belum selesai, suhu makin tinggi, zat penyusun dinding sel kayu seperti lignin dan selulosa juga mulai terurai. Ketika rantai karbon selulosai dan lignin ini tertinggal dalam proses pembakaran, sisa inilah yang menjadi arang (meskipun, dalam proses pembakaran di dunia Pak Sapardi tak ada arang yang tersisa). Panas dan cahaya pembakaran masih berlangsung terus hingga suhu menjadi 320°C. Ketika kayu sudah tak sepenuhnya berupa kayu, yang tersisa hanyalah arang dan cahaya yang menyala namun tak seterang sebelumnya. Hembusan angin masih dapat menyalakan api sebab ada pasokan oksigen lagi dalam arang. Lantas, abu pun adalah sisa-sisa pembakaran api terhadap kayu.

Nah, dari proses di atas, yang begitu panjang, rumit, dan melibatkan zat-zat serta proses yang sulit dieja, kok bisa, kayu tak sempat mengucapkan sepatah kata kepada api? Katanya mencintai, tapi tak sempat mengatakan, jangan-jangan Pak Sapardi menganut konsep “dikatakan atau tidak dikatakan, itu tetap cinta”-nya Tere Liye? Entahlah. Tapi yang jelas, kita tak bisa menyalahkan api. Sudah menjadi karakternya bahwa ia panas, membakar segala yang menyentuhnya. Mungkin sudah sifatnya ia membalas yang mencintainya dengan menjadikannya arang yang menyala, dan karbon monoksida yang membikin kita batuk-batuk. Yang salah adalah kayu, ia salah mencintai, ia salah merindu. Ia mencintai api dengan suhu yang teramat tinggi, hingga ia tak sempat menjadi arang, tak sempat mengeluarkan cahaya cintanya yang menyala, ia hanya bisa menjadi abu tanpa sempat mengucapkan kata cintanya. Dan perlu diingat, jika kita ibaratkan rasa cintanya memiliki massa, maka, seperti hukum kekekalan massa, massa cinta kayu tidak hilang begitu saja, ia hanya berubah bentuk menjadi gas, arang, juga abu, namun sia-sia. Nestapa.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Photo by Angela Compagnone on Unsplash

Masih ingat karbon dioksida dan karbon monoksida yang terurai karena panas lalu melayang di udara? Mereka kini terlampau jauh hingga bertemu sekumpulan awan. Jika dalam proses pembakaran kayu fenomenanya adalah mencintai orang (eh, curhat?) yang salah, maka dalam proses awan dan hujan ini adalah cinta yang tak pernah disampaikan, bahkan isyaratpun tidak, padahal mereka sangat dekat. Kok bisa? Mari telaah lebih detail.

Kalian pasti sudah paham betul proses terbentuknya hujan, ia tidak sesederhana (tuh pak, di dunia ini tidak ada yang sederhana, kecuali restoran Masakan Padang) air yang turun dari langit, hujan terbentuk dari penguapan air di permukaan bumi. Ketika disinari dan dipanasi oleh matahari, air di sungai, danau, laut, genangan pada jalan rusak yang tak pernah diperbaiki oleh pemerintah yang suka ngemplang pajak, atau pada banjir akibat sampah yang dibuang oleh orang-orang tolol, gada otak, gobl (oke cukup) yang menyumbat aliran air. Uap air tersebut akan naik, melayang ke atmosfer dan menggumpal menjadi awan. Semakin tinggi suhu makan semakin banyak air yang menguap ke udara dan naik ke atmosfer. Sesampainya di atmosfer, uap air ini akan mengalami proses kondensasi atau pengembunan. Uap air akan berubah menjadi partikel-partikel es yang sangat kecil, yang kemudian akan saling mendekat satu sama lain dan menyatu membentuk gumpalan putih yang disebut awan. Awan-awan ini kemudian terhembus angin dan turun dari atmosfer. Ketika partikel-partikel es sudah terlalu banyak dan awan tidak kuat menahannya, maka partikel-partikel ini akan jatuh ke bumi. Namanya gerimis ketika ia jatuh dari awan yang dangkal, dan semakin deras jika awannya semakin tinggi. Hujan telah turun ke bumi, meninggalkan awan sendiri di ketinggian, dan menjadi tiada.

Lihat, dari proses di atas, sebenarnya mereka sudah sangat dekat sejak di permukaan bumi. Mereka sama-sama ada di sungai, atau di laut. Mereka sama-sama menguap dan melayang menuju atmosfer, bersama-sama. Mereka tinggal di atmosfer, melalui proses pengembunan bersama-sama, menjadi partikel es bersama, bahkan menjadi awan bersama. Lantas, ketika yang satu masih menjadi awan, dan satunya lagi sudah menjadi hujan yang jatuh ke bumi, lalu si air ini merasa isyaratnya tak sempat disampaikan? Memangnya tak ada waktu untuk menyampaikan? Sekian lama proses dari semenjak masih di permukaan, terbang ke udara, hingga ditinggalkan masih bilang tak ada waktu untuk menyampaikan? Gak ada otak emang!

Baiklah, maaf kalau sedikit kasar. Secara subjektif bisa saya bilang kalau puisi Pak Sapardi ini bukanlah puisi yang romatis. Bait pertama adalah nestapa akibat salah mencintai, bait kedua adalah kebodohan yang tak sadar akan keadaannya. Yang pertama berusaha tapi tidak liat kondisi, yang kedua kondisi mendukung tapi tak pernah sadar diri. Kalau dalam dialog bersama Najwa Shihab dan Pak Joko Pinurbo Pak Sapardi bilang kalau ini tentang cinta tak sampai, memang benar. Tapi ya bagaimana mau sampai, kalau salah mencintai dan tak peka dengan situasi? Terus, solusinya bagaimana? Emang kebiasaan bisanya kritik doang tapi ga ada solusi! Dasar warga +26!

Kalau soal awan, kan tinggal bilang. Hehe. Kalau yang kayu, bayangkan saja seperti ini. Ia lebih memilih mencintai batu. Sebab, di negara kita ini, KATANYA, tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Hidup bahagia di negara yang KATANYA sumber alamnya melimpah, rakyatnya makmur terjamin. Pemimpinnya, hidup sejahtera. Karena apa? Karena kayu mencintai benda yang tepat, dan awan mengucapkan kepada hujan di waktu yang tepat. Sekian.

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet