Mediasi dalam Segelas Kopi

Fahrizal
6 min readMay 28, 2024

--

Beberapa tahun yang lalu, ketika aku sedang duduk bercengkerama bersama 2 orang temanku, ditemani secangkir kopi hitam dan suara gemercik air pada kolam penuh ikan, salah seorang temanku bertanya padaku perihal bagaimana kami menggambarkan diri kita masing-masing. Temanku yang lain, berkata kalau ia tak bisa menjawabnya, sebab masih bingung tentang siapa dirinya dan apa yang ingin ia lakukan. Sedangkan aku, dengan mantap dan spontan menjawab bahwa akupun tak bisa menggambarkan diriku bagaimana atau seperti apa, namun yang bisa kupastikan, aku adalah orang yang paling kubenci. Alasannya? Barangkali akibat dan sebab-sebab kegagalan yang selalu kuperbuat, ingatan-ingatan yang seringkali kukutuk karena kebodohan atau kecerebohanku sendiri, atau tingkah laku, hubungan-hubungan dengan orang lain, yang begitu kusesali dan ingin kumaki diriku sendiri. Apakah aku sudah berusaha berdamai dan tak lagi membenci diriku sendiri? Tidak, aku masih membenci diriku sendiri, setidaknya beberapa jam sebelum tulisan ini dibuat. Sebab dalam kalimat-kalimat, paragraf-paragraf, untaian kata dan ruang antar huruf berikutnya, akan kusampaikan usaha-usahaku mencoba menemui diriku sendiri yang paling kubenci, dan percobaan berdamai dengannya.

Dalam empat atau lima hari ke belakang, aku selalu kesulitan untuk tidur dalam waktu yang sewajarnya, dan ketika mata sulit terpejam sementara suara-suara kokok ayam dan berisik anak-anaknya mulai meramaikan malam yang begitu sepi, pikiranku mulai berkecamuk. Perdebatan muncul dalam kepalaku tentang apapun. Apakah aku terlalu banyak menghabiskan waktu menatap layar smartphone hingga lupa waktu, apakah aku akan tetap seperti ini, apa yang akan kulakukan besok hari, sepekan lagi, tahun depan, lima belas tahun lagi, atau apakah aku masih punya alasan untuk membenci diriku sendiri. Aku akan mencoba menjawab pertanyaan yang terakhir. Izinkan aku menjabarkan padamu bagaimana rasanya begitu jahat membenci diriku sendiri, yang sekaligus menjadi orang paling dibenci di seantero dunia. Membenci diri sendiri rasanya seperti ketika tangan kirimu memegang sebuah belati panas dengan gagang kayu yang dibalut kain usang. Telapak tanganmu hanya merasakan hangat dari kain, namun radiasi panas dari belati menyelimuti kulitmu dengan amat panas. Lalu, dengan penuh kesadaran, kau akan menyayat seluruh bagian tubuhmu, menggoreskan ujung tajam belati pada dadamu, menusuk perlahan paha, kaki, juga tangan kirimu. Membenci seseorang, atau sesuatu, ibarat menyiksa secara perlahan ia yang kau benci, dengan segala hal yang menurutmu paling menyakitkan, entah itu belati panas, cambuk rotan, atau bilah bambu yang teramat tajam dan mengilukan ketika menggores kulit. Kau akan tetap menyiksa dengan penuh amarah, namun tak sampai menghabisinya, sebab kau masih butuh objek untuk dibenci, untuk tetap menusukkan belati panas pada dada, perut, betis, atau bagian tubuh lainnya.

Dan dibenci, adalah penyiksaan tanpa henti. Kau bisa berpura-pura seolah seluruh dunia tak ada yang membencimu. Semua orang menyukaimu, atau mungkin, mereka tak membenci ataupun menyukaimu. Namun, kepura-puraan hanyalah sebuah kefanaan. Dibenci adalah hantu yang akan terus mengikutimu, menggentayangi hidupmu. Sesaat setelah kau sadar bahwa kau sedang dihantui kebencian, saat itulah penyiksaan dimulai. DIsayat bambu, dicambuk rotan, ditusuk belati panas, bahkan dipukul berkali-kali dengan benda tumpul adalah makananmu sehari-hari. Kau akan disiksa hingga mendekati ajal, namun kau juga akan selalu dijaga untuk tetap bernafas. Kau dibiarkan terombang-ambing dalam penyiksaan hanya untuk merasakan kebencian yang begitu jahanam, begitu menyakitkan. Lantas, bisakah aku menghentikan kebencian ini? Bisa, kupikir. Caranya? Dengan meminta maaf kepada diri kita sendiri dan dengan ikhlas memaafkannya. Meminta maaf atas segala salah yang pernah singgah dahulu, atas segala patah dari setiap ekspektasi yang berlalu.

Hari ini, kuputuskan untuk kembali menemui diriku sendiri setelah bertahun-tahun lamanya kutinggalkan. Aku yang kerap kali berpetualang mengunjungi banyak tempat, meninggalkan diriku sendiri di rumah yang juga kutinggalkan. Aku tahu bahwa dia juga kerap bepergian, belajar hal baru, bertemu orang-orang yang sebelumnya asing, menata hidupnya meski penuh kebencian. Setelah sekian lama, aku memberanikan diri untuk menemuinya kembali. Aku akan meminta maaf kepada diriku sendiri, aku akan menceritakan banyak hal tentang apa yang sudah kulalui, tentang tempat yang pernah kukunjungi, tentang orang yang selalu kunanti kehadirannya. Aku juga ingin mendengarkan cerita darinya, menikmati hidangan secangkir kopi yang kutahu ia kini mulai mahir meraciknya, dan juga, meskipun tak bisa kuharap banyak, ia akan memaafkanku, memaafkan kesalahanku, memaafkan ekspektasiku, memaafkan kebencianku.

Aku mengajaknya mengunjungi taman di sekitar danau tempat dulu ibu kami sering mengajak kami bermain. Taman yang seringkali, secara bergantian, aku dan diriku membersihkan tepian danau dan kursi beton di sekelilingnya. Aku tak pernah bertemu dengannya saat membersihkan taman ini, begitupun sebaliknya. Karena kebencian itulah, yang membuat kami tak pernah bertemu. Namun, ketika kuajak dia untuk bertemu kembali di taman ini, ia langsung menyetujuinya. Aku tahu, ia masih sama seperti dahulu, ia masih pemaaf, dan tak suka mengingat kesalahan orang lain. Ia masih sama seperti diriku yang kukenal.

Ketika kami bertemu, ia membawa lengkap peralatan untuk meracik kopinya sendiri. Sebuah timbangan dengan dua tombol dan layar yang menyatu dengan permukaannya, dua cangkir porselen berwarna putih dibalut warna abu-abu di bagian bawahnya, salah satunya sedikit retak di bagian bibir, teko kecil dengan celah leher angsa, termos berisi air panas, sebuah server kaca berukuran sedang, dripper plastik berbentuk mirip lipatan kertas lengkap dengan kertas penyaringnya, sebuah pouch hitam berisi grinder yang terbuat dari besi padat, dan tentu saja, biji kopi yang ia bungkus pada wadah plastik dengan perekat. Alat-alat yang ia miliki kini sudah mulai beragam, berbeda ketika dahulu ia hanya menggunakan dua atau tiga alat untuk membuatkanku secangkir kopi, yang rasanya dominan pahit dan sepat.

Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?

Aku datang untuk meminta maaf. Namun sebelum itu, aku ingin menceritakan padamu tentang banyak hal. Mungkin akan terdengar aneh dan sedikit kikuk, aku masih belum bisa meramu kata-kata yang pas dan terdengar jelas olehmu. Tapi setidaknya, akan aku usahakan ceritaku terdengar jelas dan bisa kau terima. Pertama, aku ingin memberitahumu bahwa aku telah mengubur cita-cita yang pernah kita impikan. Aku juga meminta maaf atas hal itu sebab aku gagal menjaganya, aku gagal mewujudkannya, aku gagal mewujudkan impianmu. Mimpi itu tak bisa hidup denganku, dengan kondisiku yang sekarang. Akan lebih baik kalau mimpi itu dikubur dalam-dalam, daripada diusahakan namun tanpa persiapan. Kau pernah begitu teguh memperjuangkannya, namun aku malah menyia-nyiakannya. Tak ada maksudku untuk mensabotase ataupun menggagalkan mimpimu, namun, sebab aku yang tak segigih dirimu dalam memperjuangkannya, mimpi itu kini hanya mimpi yang mati, terbujur kaku jauh di dalam tanah yang dingin. Aku minta maaf atas hal itu.

Kali ini kau yakin dengan kopi yang kau buat ini?

Entahlah, kau tahu sendiri aku tak pernah percaya diri atas apapun yang kulakukan. Tapi mungkin catatan-catatanku yang berisi beragam metode seduh akan sedikit membantuku menyajikanmu segelas kopi yang akan meredakan kebencianmu. Aku suka menikmati proses membuatnya. Aku selalu menikmati suara ketika biji kopi digiling. Aku selalu khidmat menuang air panas pada bubuk kopi yang memenuhi dripper ini. Aku tak pernah absen mengamati bagaimana setiap tetesnya jatuh menerpa permukaan server ini, mengaduknya ketika tetes terakhir telah jatuh, lalu menuangkannya pada cangkir porselen di depanmu. Namun, aku tak bisa memastikan apakah kopi buatanku kali ini rasanya akan seenak yang kau bayangkan, sebab terkadang, aku masih diintervensi oleh emosiku sendiri. Kopi buatanku seringkali terlalu pahit untuk dinikmati ketika suasana hatiku sedang muram, namun tak jarang aku bisa menikmati secercah rasa manis tatkala hatiku sedang bergembira, meskipun dalam kepura-puraan. Kau tahu sendiri kan, menjadi orang yang dibenci, aku tak pernah tahu rasanya menjadi bahagia.

Apa kabar orang itu?

Aku masih beberapa kali melihatnya dari jauh. Semoga kabar baik dan kebaikan menyertainya selalu. Masih kukumpulkan keberanian untuk menemuinya. Tekadku sudah bulat, namun, seperti dirimu, terkadang ketidakpercayaan diri ini muncul ketika hendak melakukannya. Do’akanlah semoga bisa kusegerakan. Semoga ia bisa menjadi pengobat dari rindumu yang seringkali berkecamuk.

Aku minta maaf

Aku ingin meminta maaf kepada diriku sendiri atas kebencian yang selama ini kutumpuk dalam hati. Aku ingin meminta maaf atas segala kebencian, amarah, kebodohan, ketidakbecusan atas semuanya, dan segala hal yang membuat diriku tak henti-hentinya mengutuk diriku sendiri.

Kapan pulang?

Aku ingin sekali kembali ke pantai ini setelah diriku sekian lama pergi. Apakah kau masih ingat pantai kecil yang jauh dari rumah penduduk, jauh dari pantai yang begitu ramai wisatawan, jauh dari dermaga besar tempat kapal besar berlabuh? Tidakkah kau ingin segera pulang ke pantai kecil dengan batang pohon kelapa yang telah lama tumbang dan tergeletak di bibir pantai yang sering kau duduki saat pagi hari? Pantai ini, tempat di mana kau seharusnya pulang, pantai yang masih kau ingat dengan jelas tiga tahun lalu ada hajatan yang begitu meriah, tempat di mana gubuk penuh lubang ini adalah satu-satunya tempat yang menemanimu dalam temaram sinar rembulan. Ketika dunia terlalu bising dan sumpah serapah mulai memenuhi ruang otak, masih ingatkah kau akan jalan pulang?

Tulisan ini adalah bentuk pelampiasan, dalam suatu waktu di masa depan, besar kemungkinan ada perubahan atau penambahan pada tulisan ini. Seperti tulisan-tulisanku yang lain, tulisan ini tak bisa kukatakan sebagai catatan harian, bukan pula karangan bualan belaka. Yang terpenting nikmatilah, hiduplah, dan berbahagialah. Selalu.

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet