Langit, Laut, dan Hal-Hal yang Tak Pernah Kita Bicarakan
Rindunya melanglang buana melewati pasir pantai. Matanya jauh memandangi jembatan dari sisi hutan mangrove, sementara kepalanya penuh dengan hal-hal remeh yang terlalu ia pikirkan. Tentang nasi dan seafood yang tak ia habiskan, tentang berbagi masing-masing kopi dan mengomentari dengan ilmu yang dangkal, tentang melewati hari dengan ulu hati yang nyeri karena abai waktu makan, atau tentang perpisahan yang kau bawa bersama angin dari barat beserta seberkas ingatan-ingatannya.
Langit dan laut, dan hal-hal yang tak kita bicarakan.
Katamu, perpisahan ini niscaya. Sore ini aku pulang. Kembali pada pohon, rumah, kursi, dan air mata itu. Kau, kembali bersama kucing-kucing kesayanganmu, dan orang lain yang barangkali akan segera ikut menyayangi dan merawat mereka. Aku akan pulang pada terminal yang ramai saat senja, kau kembali pada rel-rel besi tua dan stasiun yang sepi saat tengah malam. Aku kembali pada jalan lurus yang membelah kota, kau kembali pada kota dengan bukit-bukit dan genangannya. Setidaknya kita sudah pernah mencoba merayakan sisa-sisa keabadian, perasaan terakhir yang masih kita miliki. Namun, kau akhirnya memilih pergi dan meninggalkanku dengan kenangan-kenangan kecil sebagai masa depan.
Biar jadi rahasia. Menyublim ke udara.
Kau selalu suka kotaku. Kau suka ramainya jalanan saat akhir pekan, mudahnya menemukan kopi kesukaanmu, dan kedekatan dengan orang tersayangmu. Yang tak kusadari, tak ada aku dalam memorimu di kotaku ini. Sementara aku selalu suka kotamu, hanya karena keberadaan dirimu. Aku terlena dengan kebahagiaan karena keberadaanmu hingga abai dalam mempersiapkan perpisahan yang datang bagai hempasan ombak saat musim hujan.
Hirup dan sesalkan jiwa.