Kita dan Limit yang Membatasinya

Fahrizal
4 min readJun 28, 2022

--

Photo by Adrian Dascal on Unsplash

Apa yang terjadi kalau kita memiliki sesuatu yang tak terhingga, tidak bisa terpecah, namun dibatasi oleh sesuatu yang tak hingga? Kita akan tetap berkuasa atas ketidakterhinggaan itu.

Kita semua memiliki batas, dan kita tinggal bersama batasan-batasan yang mengatur hidup kita. Batasan dalam makan, batasan dalam bergaul, batasan dalam usaha mendapatkan seseorang yang selama ini dikejar, atau batas suci. Satu-satunya yang tidak memiliki batas adalah imajinasi dan mimpi kita, meskipun pada akhirnya diri kita sendirilah yang membatasinya. Jadi, mau tidak mau, kita akan tetap hidup dalam keterbatasan, in a cool term, limit. Let’s talk about it, shall we?

Kata limit mungkin sering kita dengar ketika duduk di bangku SMA, untuk kalian yang mengambil jurusan Sosial, syukurin! Saya tidak peduli! Tapi izinkan saya mendeskripsikan dalam kalimat yang mudah dipahami, semoga. Dalam persepsi matematika, limit adalah sebuah konsep, sebuah cara bagaimana kita mengetahui sebuah nilai (sifat) pada suatu persamaan (manusia, objek) ketika kita memperlakukan mereka mendekati titik batas tertentu. Ketika kita berbicara mengenai batasan, kita juga akan membicarakan tentang titik untuk berhenti. Berhenti pada batas. Kita tahu ada batas, namun kita tidak boleh acuh terbatas “sesuatu” setelah batas, yaitu keinginan untuk tidak berhenti, keinginan akan kontinuitas. Nah, konsep keingintahuan akan kontinuitas inilah yang menciptakan terminologi limit dalam matematika. Mari kita berjalan-jalan melewati ‘batas’ waktu, menuju masa lalu.

Suatu hari di tahun 1817, seorang Bapak-bapak bernama Bolzano, sedang sibuk dengan kertas dan penanya, mencari-cari kesalahan orang lain yang bernama Leibniz (Gottfried Leibniz, 1646–1716). Tapi yang Pak Bolzano cari bukanlah tabiat buruk Pak Leibniz, atau tentang bagaimana Pak Leibniz yang tiap kali sarapan buburnya tidak pernah diaduk. Namun, Pak Bolzano ingin membuktikan kalau bisa jadi ada yang salah dengan teori “infinitesimal”. Nah, dari kata-katanya saja saya bisa paham kenapa Pak Bolzano skeptis dengan teori ini, membacanya saja bikin muak, penuh kedengkian. Infitinitesimal adalah sebuah angka yang mendekati nol — tapi bukan nol — dan lebih kecil dari bilangan real terkecil. Yang jadi masalah adalah, bilangan infimsidasdlamdasl (Gathel kata-katane) ini tidak berada dalam lingkup bilangan real, tapi bilangan sureal dan hipereal (Now you know why mathematicians should be considered as artist too!). Lalu, bilangan infinitesimal, yang dilambangkan dengan simbol ε (epsilon), hanya bisa diejawantahkan dalam multiplikasi (Angkat aku jadi gurumu~), yaitu ε, 2ε, -3ε, dan seterusnya. Bagaimana, mulai mual dan pusing? Saya juga!

Oke lanjut. Jadi daripada menciptakan relasi yang sulit dipahami antar bilangan terkecil yang mendekati nol, Pak Bolzano, atas dasar skeptis kepada Pak Leibniz, mengajukan sebuah pernyataan,

Yok opo nek awak dewe gae sistem anyar sing iso nyambungno hubungan antara variabel terikat nang nilai tertentu, koyok hubungane variabel bebas karo nilaine dewe. Ben ga koyok hubunganku karo de’e sing sering approach tapi ga ditanggepi.

Nah, konsep inilah yang mendasari teori limit, yaitu menganalogikan sebuah nilai yang paling mendekati nilai yang diinginkan (sayangnya tidak pernah benar-benar dekat, I feel you, Pak Bolzano). Namun, apa yang diajukan Pak Bolzano ini masih belum banyak diketahui oleh orang-orang, hingga teori limit berkembang dan dikenal luas ketika diperkenalkan oleh Pak Newton (Iya, yang kejatuhan apel ketika sedang ngaso) dan Pak Cauchy, yang menciptakan notasi limit, seperti persamaan ini:

Mungkin cerita tentang Pak Newton dan Pak Cauchy akan saya jabarkan di tulisan berikutnya, kalau sempat.

Lantas, untuk apa kita belajar limit? Infinitesimal? Epsilon? Delta? Tidak perlu, lah. Uripmu iki wes abot, lur. Ojok diaboti maneh karo iki, sakno masa depanmu, lho. Tapi kalau kalian memang ingin tahu, sebagai bagian dari ilmu kalkulus, teori limit banyak dipakai untuk menghitung turunan sebuah fungsi yang rumit untuk diturunkan secara langsung (padahal tinggal pindah ke tempat yang lebih rendah), karena kompleksivitas persamaan yang terlalu tinggi. Atau yang lebih umum, konsep limit pada ketidakterhinggaan adalah ketika kita melempar koin yang kemungkinannya hanya garuda atau angka, pada katakanlah enam kali lemparan, kita bisa saja mendapatkan hasil 4 kali garuda dan 2 kali angka, yang mana nilai kemungkinannya masing-masing adalah 2/3 dan 1/3. Tapi, jika kita melempar koin tersebut sebanyak-banyaknya, MENDEKATI tak hingga, maka kita akan mendapatkan nilai peluang sebesar 1/2 atau 0,5. Isssh gokil~.

Yang ingin saya jabarkan di sini adalah, ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶a̶d̶a̶!̶ ̶S̶a̶y̶a̶ ̶h̶a̶n̶y̶a̶ ̶i̶n̶g̶i̶n̶ ̶m̶e̶n̶u̶l̶i̶s̶ ̶a̶p̶a̶p̶u̶n̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶k̶e̶l̶i̶h̶a̶t̶a̶n̶ ̶s̶e̶r̶i̶u̶s̶ ̶d̶a̶n̶ ̶b̶e̶r̶b̶o̶b̶o̶t̶̶,̶ ̶h̶a̶h̶a̶h̶a̶h̶a̶, penciptaan teori limit bisa kita ambil sebagai berikut ini: Apapun batasan yang diberikan terhadap diri kita, serumit apapun persamaan pada limit tersebut, kendali atas variabel batasnya ada pada diri kita sendiri, entah kita akan membatasinya mendekati nilai nol, untuk ikhtiar dalam menjauhi yang jelek, ataupun membatasinya mendekati tak hingga, untuk semua pekerjaan dan hal-hal baik yang kita kerjakan. Poin paling penting ada pada kalimat pembuka tulisan ini, jika kita memiliki persamaan sebagai berikut:

lalu kita ganti nilai x menjadi rindu, maka akan menjadi

Rinduku variabel mendekati tak hingga, linier tak terpecah, yang jika kau batasi, akan tetap tak hingga.

Yoo!

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet