Sitemap

Kata Ibuk, Kalau Memang Jodoh Tak Akan Ke Mana

Disclaimer, tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ibu saya.

5 min readApr 16, 2025

--

Tahukah kamu, bahwa ada penelitian yang menunjukkan bahwa, jika dua orang tahu hubungan mereka akan berlangsung singkat, mereka cenderung lebih mudah berkhianat (Oh, pantes). Sebaliknya, jika hubungan itu diperkirakan akan berlangsung lama, mereka cenderung bekerja sama (Tuh kan, bener). Ini mirip dengan bagaimana tetangga biasanya saling menghormati, sementara orang bisa jadi lebih cuek, jorok, atau berisik saat liburan — karena ada rasa bebas dari konsekuensi ketika tahu mereka tidak akan bertemu orang yang sama (Bisa gitu, ya).

Pernyataan pada paragraf di atas berdasarkan pada Game Theory (sok-sokan raimu, jal). Sebenarnya, orang-orang sudah meneliti aplikasi teori ini pada hubungan manusia berpuluh tahun lamanya. Tetapi, mengaplikasikan model matematika teoritis pada hubungan manusia yang sangat kompleks selalu tidak sempurna, formula matematika tidak dapat memasukkan emosi kompleks manusia, pun model matematika tidak dibuat untuk menghasilkan result jangka pendek. Maka dari itu peneliti biasanya membatasi teorinya pada hal-hal tertentu, misal ketertarikan Romeo dan Juliet berdasarkan kuantitas suka dan benci mereka satu sama lain, atau penelitian mengenai seberapa besar kemungkinan kita mendapat pasangan jika, dan hanya jika, kita menjalin hubungan dengan satu orang atau beberapa orang sekaligus.

Pada lingkup keilmuan yang lain, seorang ahli biologi bernama John Maynard Smith mengajukan sebuah pemodelan evolusi yang dia namakan evolutionary game theory. Dengan teori ini, para ahli biologi dapat menyederhanakan kompleksnya algoritma perkawinan spesies makhluk hidup menjadi “tipe” target mereka, spesifiknya, para ahli ini mencoba melihat strategi perkawinan apa yang dimiliki suatu spesies, apakah mereka memiliki pasangan yang tunggal, banyak, atau jumlahnya yang tak tentu? Contohnya, pada sebagian besar spesies, pendekatan yang efektif akan sama persis untuk semua spesies, dengan penampakan yang semakin “maskulin”, ada kecenderungan menarik minat pasangannya, seperti ekor yang panjang, suara yang menggelegar, jambul yang mencolok, suka olahraga, kekar, punya kendaraan sendiri, ah itulah pokoknya. Ya, meskipun tidak semua kasus seperti ini.

Press enter or click to view image in full size
Photo by Vivek Doshi on Unsplash

Namun, inti dari game theory adalah zero-sum game, artinya jumlah kemenangan dan kekalahan partisipan seimbang dan sama dengan partisipan yang lain. Dalam contoh di atas, terjadi ketidakadilan, lantas bagaimana pengaplikasian game theory pada hubungan manusia yang rumit ini? Coba kita analogikan dengan permainan gunting-batu-kertas. Pada permainan ini, tidak ada strategi yang membuat kita tidak pernah kalah. Gunting dikalahkan batu, batu dikalahkan kertas, dan kertas dikalahkan gunting. Alur ini siklikal, yang berarti apapun pilihan yang kita pilih, pada titik tertentu kita akan menang, dan tidak akan seterusnya menang.

Press enter or click to view image in full size
Photo by Andrey Tikhonovskiy on Unsplash

Sebuah spesies kadal dengan tenggorokan berwarna orange menyala akan bersikap lebih agresif pada teritorinya, juga pada betina-betinanya. Sementara, kadal dengan tenggorokan berwarna biru cenderung monogami dan memiliki teritori yang lebih kecil (Ah pada akhirnya, biasa-biasa saja juga tak mengapa). Kedua jenis kadal jantan ini mampu melangsungkan proses perkawinannya dan menurunkan gennya pada beberapa generasi. Sebenarnya, ada satu spesies lagi yang bisa kita sebut “sneaky”, ia adalah jenis kadal dengan tenggorokan belang kuning (yang ternyata mirip dengan kadal betina), dan tidak memiliki teritori. Ia berinteraksi dan kawing dengan betina yang terikat pada jenis tenggorokan orange maupun biru, karena ia mampu bersembunyi tanpa diketahui oleh pejantan pemilik teritori. Dalam periode enam tahun, tiga jenis kadal jantan tersebut bergantian menjadi populasi terbanyak, tanpa ada spesies yang lebih unggul selamanya. Inilah, salah satu contoh pemodelan evolutionary game theory.

Ah tapi kan, manusia bukan kadal (kecuali Mark Zuckerberg dan kaumnya, hahaha).

Oke, kalau begitu, kita pakai strategi yang diajukan oleh sejarawan sosial ekonomi Walter Scheidel. Beliau mengajukan konsep strategi trikotomi perkawinan untuk laki-laki — tidak bermaksud patriarki, saya hanya menulis tanpa tendensi pada jenis kelamin tertentu. Scheidel mengidentifikasikan tiga macam strategi pendekatan laki-laki heteroseksual: laki-laki yang secara legal berpoligami dan “sexually active” dengan banyak perempuan (kita sebut saja harem-minder, wkwkwk); laki-laki yang secara legal bermonogami tapi “sexually active” dengan banyak perempuan (seperti kadal “sneaky”); dan laki-laki yang secara legal bermonogami dan hanya “sexually active” pada satu wanita -manusia normal, meskipun dalam sejarahnya, dalam kingdom animalia, manusia agak berpoligami, setidaknya pada masyarakat komtemporer.

Ketiga kelompok tersebut sama-sama stabil dan seimbang secara evolusi, seperti permainan gunting-batu-kertas, meskipun secara urutan berbeda. Pertanyaannya, siapa yang mengalahkan siapa?

Sebuah penelitian menyatakan bahwa monogami sebagai aturan sosial pada manusia memiliki dampak yang baik bagi masyarakat, secara mendasar karena “mengurangi jumlah laki-laki yang tidak menikah”. Dalam masyarakat yang secara budaya cenderung membolehkan poligami, jumlah pria jomblo yang lebih sedikit terbukti bisa menurunkan tingkat kejahatan seperti pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, dan penipuan. Monogami juga tidak hanya diketahui pada strategi “kawin” laki-laki, namun juga pada perempuan. Para ahli biologi menyatakan bahwa perempuan juga berevolusi ke arah ovulasi tersembunyi, sebuah tanda di mana laki-laki paham perempuannya sedang dalam masa subur, sehingga pada akhirnya, perempuan (dan tentu laki-laki) memilih menjadi monogami agar pasangannya mau ikut bertanggung jawab membesarkan anak.

Dari deskripsi di atas, mirip seperti gunting yang mengalahkan kertas, manusia monogami “mengalahkan” manusia poligami (atau harem, satu jantan dengan banyak betina).

Tapi, apakah memilih untuk bermonogami adalah pilihan yang selalu menang? Tentu tidak, mereka dikalahkan oleh “sneaky”, si tukang selingkuh. Tidak percaya? Budaya yang secara institusional menganut monogami tapi banyak orang dewasa di dalamnya mengaku berselingkuh, bisa dianggap sebagai budaya di mana strategi “main belakang” cukup berhasil, karena kalau tidak, tidak akan banyak orang yang melakukannya, atau minimal mengakuinya. Di berbagai budaya, estimasi orang yang berselingkuh bervariasi antara 14% hingga 75%. (Angka ini berdasarkan pengakuan pribadi, bisa saja lebih, kan ada yang ga jujur…)

Tapi, di zaman sekarang, dengan maraknya penggunaan dating apps, ada budaya tersendiri yang mulai muncul ke permukaan. Tinder misalnya, ada satu riset yang menunjukkan kalau 42% pengguna Tinder ternyata diam-diam sudah punya pasangan — alias main belakang. Tapi menariknya, di Tinder justru orang yang terang-terangan punya banyak “gebetan” alias main banyak (harem-minder) malah lebih sukses. Menurut antropolog Helen Fisher, idealnya sih jangan follow lebih dari sembilan profil sekaligus. Nyambung juga sama teori “underdog” yang lagi naik daun. Di Tinder, yang main banyak malah ngalahin yang diam-diam selingkuh — kayak kertas ngalahin batu di suit.

Ya pada akhirnya, mau jadi apapun, terserah kamu sih. Tinggal nunggu giliran atau balapan sama waktu. Kalau memilih monogami sekarang sambil mengusahakan nyari pasangan, bisa dapet, bisa juga keburu tua. Mau diam-diam seleksi sendiri dari 4 sampe 20 orang laki-laki juga silahkan, toh negara juga acuh tak acuh sama kelakuanmu. Mau pamer selingkuhan juga ya silahkan, saya mah apa, bukan hakim moral. Tapi ya paling raimu tak cocoti nang mburi, hehe.

Press enter or click to view image in full size
Photo by Guenifi Ouassim on Unsplash

Kesimpulannya, seperti biasa, saya gabut, jadi nulis sembarang yang ada di otak. Mau pamer? Memang!

--

--

Fahrizal
Fahrizal

Written by Fahrizal

Sarana “Serius Dikit” Fahrizal

No responses yet