Integrasi Kekecewaan dalam Derai-Derai Cemara Kehidupan
…hidup hanya menunda kekalahan
…dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Kau pernah patah hati? Aku pernah (Tulisannya ada di media yang satunya, hehe). Pernah kecewa? Aku sering (Keren bang jago!). Menurut KBBI, patah hati adalah kecewa karena harapannya gagal. Harapan yang gagal adalah ekpekstasi yang tak sesuai dengan realita. Makanya, jangan tidur melulu. ‘Dah lah, langsung saja ke intinya!
Jika disederhanakan menjadi sebuah kalimat matematika sederhana, rasa kecewa (k) itu muncul sebab adanya perbandingan antara ekspekstasi (e) dan realita (r). Kecuali kamu sudah mati, realita nilainya tak pernah nol, sehingga menjadi tak terdefinisi ketika kecewamu tak berujung. Yang bisa kita lakukan adalah memperkecil ekspektasi, sehingga selinier dengan kekecewaan kita.
Tambahkan faktor penentu x, yang barangkali bisa saya anggap sebagai berserah diri kepada Allah atas apa saja yang kita usahakan, maka tingkat kekecewaan bisa semakin kita minimalisir. Sebab, semakin mendekati nilai tak hingga (yang meskipun kupikir, manusia tak pernah bisa mencapai tak hingga, ia hanya bisa berusaha mendekatinya) maka akan menghasilkan nilai k yang semakin kecil.
Setelahnya, kupikir persamaan di atas sudah benar. Namun alangkah sombongnya aku sebagai manusia yang menyamakan bagianku sebagai manusia, yakni (e/r) dengan kuasa Allah (1/x). Maka, sudah sepantasnya aku sebagai manusia mengubah bagaimana bagian kuasa manusia menjadi tak bermakna jika nilai 1/x adalah nol. Di sini, aku tidak akan mengutak-atik bagian kuasa Allah, sebab aku tahu cara kerja-Nya tak sesederhana 1/x, lebih kompleks dari yang bisa otak manusia olah. Sehingga aku akan mencoba mengubah bagian e/r ini.
Lantas aku ingat, realita, adalah hal yang sudah terjadi. Ia akan ada setelah apa yang kita ekspektasikan telah selesai (yang nantinya entah sama atau tidak). Dan, sudah menjadi hukum alam bahwa kita tak bisa memprediksi realita yang akan terjadi nantinya, dengan kata lain, di luar kuasa kita. Sehingga, variabel yang bisa kita ubah-ubah pada akhirnya adalah nilai ekspektasi, yakni e. Ekspektasi yang berlebihan akan terasa menyakitkan. Bagiku, ekspektasi yang terus-menerus adalah penumpukan ekspektasi-ekspektasi yang lebih kecil. Seiring waktu berjalan, ekspektasi pada akhirnya akan menjadi tumpukan ekspektasi yang membesar. Banyaknya ekspektasi ini adalah “integrasi” dari ekpekstasi-ekspektasi dari perjalanan hidup kita.
Jadi, kupikir aku bisa menarasikan nilai ekspektasi adalah integral dari perbandingan ekspektasi yang terus dipupuk dan realita (yang konstan, namun belum kita ketahui berapa nilainya). Maka, persamaannya, bisa kuanggap menjadi seperti ini:
Kenapa memakai notasi integral? Sebab kekecewaan adalah hasil dari penumpukan ekspektasi-ekspektasi. Integral, yang bentuknya seperti cacing (kalau kau mual, mungkin cacing integral dalam ususmu sedang ke-trigger) adalah sebuah notasi yang digunakan untuk menghitung pertambahan sebuah nilai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, kita punya kue yang bentuknya tidak beraturan, lalu, ada yang iseng tanya, kue ini luasnya berapa, ya? Nah, kita bisa memperkirakan luas dengan memotong kue tersebut menjadi kotak-kotak kecil, membiarkan sisa potongan yang bentuknya tak beraturan, dan menghitung kue kotak yang kita dapatkan. Kalau kita memotong dengan ukuran kotak yang lebih kecil, maka kita akan mendapatkan nilai luas kue yang mendekati luas sebenarnya (Tapi ngapain kita ngitung luas kue, ya? Wkwkwkwk…) Nah, pada intinya, integral adalah penumpukan, penjumlahan seluruh benda atau kejadian dalam lingkup tertentu. Integral kekecewaan adalah akumulasi dari kekecewaan-kekecewaan kecil sepanjang waktu.
Kemudian meskipun masih dalam domain realita, batas integral pada persamaan di atas adalah negatif tak hingga sampai tak hingga, sebab seperti yang kusampaikan sebelumnya, kita hanya bisa mendekati tak hingga, namun tak pernah benar-benar menggapainya. Lalu, kenapa negatif, kenapa bukan nol? Aku mengambil dari petuah seorang kaisar romawi yang terkenal dengan filosofi stoiknya, Marcus Aurelius.
Aku juga tidak paham kenapa memasang foto kucing dengan pemaparan stoik, yang penting, lucu aja.
Marcus Aurelius dalam buku Meditations, yang juga disederhanakan dalam buku Filosofi Teras, mengajarkan bahwa kita perlu “menegosiasikan kekecewaan”. Bahwa dalam kehidupan, kita pasti akan bertemu orang-orang membuat kita kesal, tersandung pada batu, ban bocor di tengah perjalanan padahal sedang hujan badai dan kita tak membawa jas hujan, uang kita hilang, kena tipu, dan sebagainya. Bernegosiasi berarti kita pertimbangkan dan mengembangkan. Bisa jadi sesuatu yang mengecewakan kita memang merupakan kemalangan yang diderita akibat ketidaktahuan, misalnya. Oleh karena itu kita tak akan marah, justru malah merasa bersimpati kepadanya. Stoikisme mengajak kita untuk tidak hanya mengurangi ekspektasi, tetapi untuk berekspektasi pada yang terburuk, seburuk mungkin, senegatif mungkin.
Dari penjelasan di atas, yang paling berpengaruh tetap saja yang derajatnya sama dengan tanda sama dengan, yakni kuasa Allah (1/x). Aku tak bisa membuangnya karena jika bagian itu hilang, nilai k akan mendekati tak hingga (terlarut dalam kekecewaan) atau mendekati negatif tak hingga (menjadi gila lalu membenci dunia dan seisinya, mungkin?).
Kalau tulisan ini kau anggap bermakna, terima kasih, aku hanya menulis sebagai pengingat kepada diri sendiri, karena, di medium ini, yang paling sering membaca tulisanku adalah diriku sendiri (narsis bet, bang). Tapi, tetap, terima kasih telah singgah, semoga bantalmu selalu dingin di kedua sisinya, aamiin.
Ditulis dalam keadaan pilek, mual-mual dan pusing, setelah bangun dari mimpi aneh tentang bermain sudoku yang tiap-tiap kotaknya berisi akting dari cuplikan trailer “Pengepungan di Bukit Duri”, apa hubungannya? Entah. Mimpi orang demam memang seliar overthinkingnya.
