Lara, selumrahnya rasa yang dimiliki setiap manusia, adalah hal yang pernah, jika bukan biasa, menghampiri.
Selayaknya nelayan-nelayan yang mendiami pulau kecil ini, lara kerap kali datang ketika baratan tiba, saat gelombang pasang silih berganti menerjang bibir pantai.
Tinggi mencekam, menghantam penuh destruksi.
Lara, satu-satunya rasa yang pulau kecil ini miliki, barangkali perlu aku tinggalkan.
Kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah ratusan gores kenangan di setiap sudut, dalam gang-gang kecil, pada dermaga di utara, adalah hal yang fana, mustahil untuk diselesaikan.
Dan barangkali, untuk tiap-tiap rasa yang memiliki lini masa sendiri, lara, perlu untuk kusudahi.
Pergi dengan rasa sakit yang perlu ditinggalkan, membawa hati yang koyak penuh sayatan.
Meninggalkan pulau dengan pantai yang indah namun tertutup mendung harapan-harapan yang sirna.
Menuju suatu desa dengan harapan-harapan baru, suka cita yang menunggu, namun tak menutup kemungkinan lara baru akan tetap menderu.
Pergi tak semudah itu.
Partikel-partikel memori yang telah lalu akan tetap mengikuti arus masa.
Usaha-usaha untuk tetap ikhlas walau kenangan tetap mengucur deras, ketika ingatan masih terus singgah pada tiap-tiap ruang dengan logika sebagai sekat pembatas.
Pergi, tak semudah itu.