Bitter Sweet Memory: Ekspektasi dan Keteduhan Secangkir Kopi
Jurnal Kopi #2 (22–24 Mei 2025)
Awalnya aku sempat kebingungan akan memulai jurnal kedua ini dari mana. Jika jurnal kopi sebelumnya dilatarbelakangi dengan patah hati yang dibalut dengan pengkhianatan, kali ini aku tak memiliki tendensi apapun. Misalnya pada hari Sabtu 19 April lalu, sepulang dari ajakan seorang teman untuk melihat-lihat laptop yang diincarnya di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di negeri ini, aku menyempatkan waktuku untuk mampir di Drama Roastery di Pasar Tunjungan. Tempat ini lebih intimate daripada cabang satunya di Dharmahusada, sehingga aku bisa ngobrol dengan barista-nya, namun sayangnya waktu itu sedang ramai-ramainya hingga aku hanya bisa memesan segelas manual brew dengan beans El Diviso Sidra dari Kolombia lalu kubawa pulang untuk kunikmati sepanjang perjalanan di atas Suroboyo Bus — adegan ini tak patut dicontoh sebab para penumpang dilarang makan dan minum di dalam bus, hehe. Perihal beans El Diviso Sidra ini, aku tak pernah membeli beans utuhnya, hanya bisa kunikmati di Drama Roastery. Ditanam di ketinggian 1.700 mdpl, lalu diproses dengan proses pasca panen tradisional, seduhannya ketika panas menghasilkan aroma buah persik yang samar-samar, lalu diikuti dengan notes manis khas beans Kolombia, tipis manis buah persik diikuti rasa asam yang muncul perlahan setelahnya. Waktu itu, kunikmati seduhan kopi ini ditemani dengan petuah Bapak TNI disampingku yang bercerita tentang keinginannya agar anak-anaknya tak lupa belajar ilmu agama, saat banyak orang di sekitarnya hanya fokus berlomba-lomba menggeluti ilmu-ilmu duniawi.
Kita melompat ke tanggal 22 Mei. Waktu itu aku niatkan untuk mengunjungi Solo setelah Ajun (kepala “Dinas Sosial” tempatku menceritakan si pengkhianat itu) membatalkan rencana kami berpelesir ke provinsi sebelah. Maka dari itu, kuputuskan saja mengunjungi Solo untuk berkunjung ke rumah pak Jokowi, siapa tahu dapat petuah tentang bagaimana mendidik anak agar sukses dalam kehidupan bernegara dan selalu diingat oleh rakyatnya. Eh ternyata beliau sedang di luar kota ada urusan, katanya mau mengurus legalisasi ijazahnya ( ̶k̶a̶b̶a̶r̶n̶y̶a̶ ̶s̶u̶d̶a̶h̶ ̶d̶i̶b̶a̶n̶t̶u̶ ̶f̶o̶t̶o̶c̶o̶p̶y̶ ̶o̶l̶e̶h̶ ̶k̶e̶r̶a̶b̶a̶t̶n̶y̶a̶ ̶d̶i̶ ̶k̶e̶p̶o̶l̶i̶s̶i̶a̶n̶). Oke stop, ini tentang jurnal kopi.
Dalam petualangan kali ini, aku sudah merencanakan untuk mengunjungi dua tempat kopi di dua kota berbeda, yakni Hustle Kafe di Salatiga, dan Tadasih di Yogyakarta. Aku mencari tempat menginap di Solo sebab letaknya di tengah-tengah antara Salatiga dan Yogya, sembari aku bisa mencari tempat kopi yang bisa kukunjungi, dan alasan sentimentil yang tak bisa kujabarkan di sini. Baiklah, mari kita mulai petualangan kali ini.
Untuk pemanasan, aku mencoba menghubungi salah seorang teman yang berasal dari Solo, dan kebetulan ia juga penikmat kopi. Namanya Rusdy, teman sejurusan dan seorganisasiku dulu. Seorang habib, suka kopi, dan suka berdialektika hingga larut malam menjelang subuh sementara aku mengantuk-ngantuk di sekretariat himpunan dulu. Waktu aku menanyakan tempat-tempat kopi yang bisa kukunjungi, ia menyaranku untuk mengunjungi 1956. Tidak, aku tak memakai mesin waktu agar sampai ke tempat ini. Yang kupakai adalah sepeda motor vario yang kusewa dari pemilik guest house 60 ribuan tempatku menginap. Kata Rusdy, tempat ini bertipe slow bar, maka aku berekspektasi bisa berbincang dengan barista-nya. Bagian tempat untuk memesan memang didesain agar pengunjung bisa duduk di depan meja seduh, namun waktu itu aku tak bisa menempatinya, sebab sedang ramai oleh pengunjung, dengan penampilan khas anak skena zaman sekarang. Astagfirullah, nek ngene ki ra cocok karo aku, Rus. Ya sudah, kupesan secangkir beans dari Kolombia lagi, varietas lilac bourbon, namun aku tak tahu dari mana dan bagaimana beans itu diproses. Kupilih tempat duduk yang agak jauh dari keramaian, di depan pintu masuk di bawah pohon, dekat air mancur. Saat pesananku datang, aku mendapati kopiku dalam gelas beaker ukuran 500ml dan cangkir keramik yang sudah hangat, unik juga. Saat gelas beaker kudekatkan pada hidung, aroma floral menyerbak. Ada aroma bunga-bungaan yang menyeruak, tipis seperti bunga lavender, dengan sopan masuk ke lubang hidung. Rasanya? Seduhan kali ini tak se-intens beans yang pernah kurasakan sebelumnya, ia kompleks, dengan body yang halus dan tidak terlalu tebal diikuti rasa seperti brown sugar yang samar-samar. Kalau kudeskripsikan, barangkali ibarat saat pagi hari kita menikmati bunga tabebuya yang mulai bermekaran di sepanjang Jalan MERR.
Besoknya, pukul 6 pagi aku bergegas ke Salatiga. Mengendarai Vario sewaan, menikmati jalanan kota Solo yang mulai ramai orang-orang hendak memulai aktivitasnya masing-masing. Perjalanan ini tak terlalu mulus, butuh 1,5 jam untuk sampai di pusat kota Salatiga, ditemani rintik hujan sepanjang Kartasura dan Tengaran. Aku tak ingin menyiksa perutku dengan tiba-tiba memasukkan secangkir kafein saat matahari belum tinggi, jadi kuputuskan untuk mengisi perutku dengan sarapan. Letaknya di belakang hotel Grand Hyatt, namanya Soto Esto. Kupikir tempat ini akan ramai oleh pengunjung, sebab sebelumnya kucek ini adalah salah tempat kuliner yang legendaris di Salatiga. Namun dugaanku salah, pagi itu, orang-orang lebih banyak bergerombol di jalanan utama menuju UKSW, kata mas penjaga parkir, akan ada pawai.
Setelah memesan satu porsi soto, aku memilih meja makan yang menghadap dinding. Di atas meja terdapat wadah-wadah berisi sate jeroan, dan tahu bakso. Ketika soto ini datang, yang tampak di depanku adalah nasi yang terendam oleh kuah pekat, potongan kerupuk karak (kerupuk yang terbuat dari nasi yang dikeringkan), dan suwiran ayam. Rasanya? kuah yang pekat kekuningan ini ternyata mengandung santan, jadi lebih creamy dibandingkan soto madura atau soto lamongan. Suwiran ayam kampung juga menambah rasa gurih, serta potongan kerupuk karak yang mulai melempem menambah rasa unik dari soto ini. Pagi itu, aku tak mencampurkan bahan-bahan lain seperti sambal ataupun kecap manis, aku ingin menikmati soto ini dengan segala keotentikannya. Harganya? 13 ribu. Mana ada di Surabaya soto seharga ini dan cukup membikin kenyang perut, ckckck.
Mari kita lanjut ke lakon utama di hari Jum’at ini. Kedai kopi yang menjadi tujuanku adalah Hustle Kafe. Aku tahu tempat ini dari salah satu roastery di Semarang yang beansnya pernah kubeli saat mengunjungi pameran kopi di PTC Surabaya. Setelah aku kepoin akun instagramnya, aku menemukan coffee shop kecil namun dengan interior yang modern. Bentuknya terinpirasi dari stasiun kereta api, dan segala komponen desainnya terinspirasi dari stasiun. Waktu aku datang, hanya ada dua orang customer yang sedang bercengkerama, dan dua barista di balik mesin kopi dan etalase bakery-nya. Sebab terhasut visual desainnya yang mirip style desain kafe-kafe di Australia, maka aku memesan kopi espresso-based.
Menu yang datang kali ini adalah espresso dalam cangkir POV hasil kolaborasi Muhammad Aga (Juara 1 IBC 2025), piccolo dalam cangkir Loveramics, dan segelas air mineral. Beans kopi yang dipakai oleh Hustle kali ini berasal dari kaki gunung Kerinci dan ditanam di ketinggian 1.650 mdpl oleh Koperasi Rukun Saudara (dari info yang kubaca, koperasi ini menduduki peringkat 12 dalam kompetisi Cup of Excellence tahun 2022), dengan varietas Sigararutang dan Andungsari dan diproses secara natural anaerobik, dan didatangkan lalu “digoreng” menggunakan mesin Loring S15 oleh Two Hands Full Coffee Roaster, sebuah roastery dari Bandung. Sotoy bang~
Mirip seperti beans asal gunung Kerinci yang pernah kurasakan, notes espresso pada seduhan kali ini adalah rasa asam seperti buah markisa. Asam yang amat asam, untungnya sudah kuisi perut ini dengan soto. Pahitnya tidak dominan, tapi rasa masam enak mendominasi. Seperti yang kukatakan di paragraf sebelumnya, espresso kali ini dihidangkan pada sebuah cangkir unik. Namanya POV, cangkir kolaborasi dengan Muhammad Aga. Cangkir berbahan keramik ini memiliki ketebalan yang berbeda di dua sisi. Sisi yang lebih tipis memiliki mulut cangkir yang lebih tinggi, untuk meningkatkan kompleksitas rasa dan membuka spektrum rasa yang lebih luas dari espresso, sedangkan mulut cangkir yang tebal sisinya lebih pendek untuk menonjolkan rasa manis dan tekstur. Jujur, pada mulut cangkir yang tebal aku memang merasakan efek rasa manis yang lebih punchy daripada sisi mulut yang tipis. Entah ini bualan atau efek psikis, silahkan nilai sendiri.
Sementara di cangkir yang lain, piccolo yang kurasakan seperti minum smoothies rasa mangga. Tidak serta merta semanis itu, namun samar-samar. Manis dan asamnya berpadu dengan rasa susu yang creamy. Dalam beberapa sesapan yang lain, kadang muncul rasa white chocolate dan juga rasa kue serpot (ini kue khas madura, aku tak tahu apakah di luar madura ada yang mirip, hahaha) yang muncul transparan. Seandainya aku tak bersabar, kopi ini akan cepat habis. Namun, untungnya pagi itu sekitaran Lapangan Pancasila sedang gerimis, jadi sesekali waktu aku bisa mengalihkan pandanganku ke arah jalan raya yang mulai basah sembari lidahku mengecap rasa piccolo yang unik dan membuat ketagihan ini.
Aku sebenarnya hendak pulang, namun, setelah mendengar cerita si Barista kalau mereka baru saja menitip beans-beans dari WOC kemarin, aku jadi penasaran (sebenarnya ini tindakan impulsif yang tak patut dicontoh!) Setelah memilih beans, pandanganku tertuju pada beans hasil gorengan Archers, sebuah roastery dari Dubai, yang terkenal dengan kurasi beans dengan nilai cupping di atas 87. Waktu itu beans yang kupilih adalah “Ethiopia Benti Nenka Guji Hambela”. Apa tuh? Beans ini adalah varietas campuran Kurume dan 74112, ditanam di kebun Guji Hambela, di desa Benti Nenka, dengan ketinggian 1.950–2.300 mdpl. Setelah dipanen, beans ini diproses secara anaerobik natural (lagi) oleh EDN Coffee, lalu tentu saja di-roasting oleh Archers. Tema perjalanan hari ini adalah tentang cangkir dan gelas kopi, maka, waktu itu Hustle menghidangkan kopi Ethiopia ini menggunakan gelas keramik dari Ni Wares. Desain gelas berwarna merah muda ini mirip dengan sebelumnya, dengan dua sisi tebal dan tipis. Namun, dalam penerapan pada kopi seduhan manual, fungsi sisi mulut gelas yang tebal adalah untuk mengalirkan kopi dalam lapisan yang lebih tebal terutama ke langit-langit mulut, untuk membantu meningkatkan sweetness, texture, dan intensitas kopi. Sementara bagian yang tipis untuk mengalirkan kopi dalam lapisan yang lebih tipis ke dalam mulut, membantu meningkatkan notes halus dan fruity. Secara saintifik, tebal dan tipisnya desain gelas ini berpengaruh pada aliran kopi saat di mulut, sehingga berpengaruh pada aerasi yang akan berefek pada rasa kopi yang kita minum. Pada sisi yang tipis, aku bisa merasakan rasa fruity seperti blackberry dan nanas, dan aroma floral yang tipis, mirip aroma teh yang sepat. Sementara jika memakai sisi mulut yang tebal, ada rasa manis seperti teh peach dan rasa tipis mangga yang baru matang. Aku tak bisa mendeskripsikan rasa-rasa yang lain sebab mulut ini tak teruji, hanya tahu kopi enak dan tidak enak. Terkadang muncul rasa manis mirip gula, terkadang ada rasa asam anggur, terlalu kompleks. Kalau mau tahu, barangkali bisa coba sendiri, hehe.
Tadasih adalah salah satu wishlist yang paling aku nantikan untuk kukunjungi. Sudah sangat lama, bahkan saat lokasinya masih di Pasar Baru, Jakarta. Setelah perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam dari Solo dengan KRL, aku singgah di Stasiun Yogyakarta, lantas berjalan kaki menyusuri Malioboro, Alun-Alun Utara, Jalan Wijilan yang penuh dengan kedai gudeg, dan melewati benteng keraton.
Kupikir di waktu aku sampai akan ramai, namun ternyata saat aku sampai hanya ada satu orang laki-laki yang sedang menggambar sketsa interior Tadasih, dan seorang perempuan yang sedang sibuk bekerja, kupikir. Aku memilih duduk di pojokan agar bisa melihat Mas Ferza meracik pesananku. Waktu itu, aku memesan secangkir kopi Filter Mekarwangi dengan kudapan matcha cake. Suasana di kedai ini syahdu, hanya ada obrolan-obrolan yang saling dilontarkan olehku, Mas Ferza, dan mas-mas yang tadi sibuk bersketsa. Berbicara tentang pameran kopi internasional yang baru saja selesai beberapa hari yang lalu, Jogja yang akhir-akhir ini cuacanya tak menentu, atau celetukan Mas Ferza tentang pelanggan baru yang kerap membawa mobilnya padahal sudah setiap hari ada reminder untuk tidak membawa mobil pribadi saat berkunjung ke sini. Ada salah satu pelanggan yang datang, pada akhirnya mereka tak kembali hingga saat aku pulang, mungkin mereka jauh-jauh dari luar kota lantas bingung hendak memarkir mobilnya di mana. Saat itu, memang sepanjang sisi selatan benteng keraton sedang ada perbaikan, jadi Mas Ferza tak bosan-bosan memasang story di Instagram Tadasih sebagai reminder untuk memarkir mobilnya agak jauh.
Aku tak hendak mendeskripsikan rasa dari kopi yang dibuat Mas Ferza, paragraf-paragraf sebelumnya sudah cukup banyak kujelaskan tentang rasa pada secangkir kopi. Namun, aku ingin menyampaikan sedikit hal, tentang kehangatan di secangkir kopi Mekarwangi yang diproses secara natural. Rasanya hangat, cocok dengan suasana siang itu. Dipadu dengan cake matcha dari wilayah Uji, Kyoto, Jepang. Uji Matcha Cake ini tidak terasa rasa “rumput” yang biasanya kutemukan pada produk matcha, namun rasa pahit yang yang khas, berpadu dengan rasa nutty pada krim matcha. Lalu crackersnya ada rasa manis dari white chocolate yang berpadu dengan bitter matcha. Dan tentu saja, compound cake yang fluffy dan buttery.
Ketiga komponen ini ketika dimakan bersamaan seperti perayaan yang tenang, meriah namun tetap santun. Ketika sisa-sisa matcha masih menyisa, lantas diguyur dengan hangatnya Mekarwangi, pesta rasa ini mengingatkanku tentang proses yang memakan waktu tak sebentar, kecintaan pada kopi yang begitu mendalam, dan keinginan untuk memuaskan pelanggan yang begitu besar. Barangkali, meskipun Jogja sudah tak sehangat dahulu, yang kini penuh gejolak, Tadasih masih tetap menawarkan kehangatan Jogja yang kapanpun siap memelukmu saat kau butuh. Dan tentu saja entah kapan, aku pasti akan kembali.
